HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri terlibat adu argumen dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal hilirisasi mineral tambang, khususnya nikel di Indonesia yang disebut faisal lebih memberikan keuntungan bagi China.
Adu argumen itu bermula dari pernyataan Faisal saat menjadi pembicara di acara iskusi Kajian Tengah Tahun INDEF yang digelar beberapa waktu lalu.
Kala itu, Faisal menilai hilirisasi nikel hanya menguntungkan industrialisasi Negeri Tirai Bambu alias China. Pasalnya, Nikel Pig Iron (NPI) dan fero nikel yang menjadi hasil hilirisasi nikel dalam negeri sebanyak 99 persennya diekspor ke China.
“Kalau hilirisasi sekedar dari bijih nikel jadi NPI atau jadi fero nikel. NPI dan fero nikel 99 persen diekspor ke China jadi hilirisasi Indonesia nyata-nyata mendukung industrialisasi di China itu dia, luar biasa,” ujar Faisal, Selasa (8/8) dikutip Holopis.com.
Presiden Jokowi membalas
Pesiden Jokowi yang seakan tidak terima dengan pernyataan Faisal pun langsung membantah, dengan mencontohkan bahwa hilirisasi nikel membawa keuntungan untuk Indonesia.
Dalam agendanya di Stasiun LRT Dukuh Atas, Jokowi justru mempertanyakan hitung-hitungan Faisal Basri yang mengatakan bahwa hilirisasi menguntungkan negara lain.
“Ngitunganya gimana? Kalau hitungan saya berikan contoh nikel, saat diekspor mentahan, bahan mentah setahun kira-kira hanya Rp 17 triliun, setelah masuk ke industrial downstreaming, ke hilirisasi menjadi Rp 510 triliun,” terang Jokowi, Kamis (11/8).
Menurutnya, nilai ekspor nikel hasil hilirisasi yang meningkat akan menghasilkan pajak yang lebih besar ketimbang sebelum nikel dilakukan hilirisasi.
“Bayangkan saja kita negara itu hanya mengambil pajak, mengambil pajak dari Rp 17 triliun sama mengambil pajak dari Rp 510 triliun lebih gede mana?” jelas Jokowi.
Faisal Basri membalas
Faisal yang mendengar pernyataan Jokowi pun geram dan menilai Jokowi hanya memberikan angka-angka yang tidak akurat. Bahkan, Faisal Basri menuding Presiden Jokowi hanya menyampaikan fakta yang menyesatkan.
“Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” tulis Faisal, Jumat (11/8).
Faisal kembali mempertanyakan angka Rp510 triliun yang disebut oleh Jokowi sebagai nilai tambah yang didapat pemerintah usai dilakukan hilirisasi nikel.
Berdasarkan data, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil hilirisasi hanya mencapai US$27,8 miliar atau setara dengan Rp413,9 triliun (dengan asumsi Rp14.876 per dolar AS).
“Faktanya, memang tak ada yang menampik bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Bahkan ekspor dari hasil hilirisasi melonjak hingga 414 persen,” tulis Faisal Basri.
Namun sayangnya, menurut Faisal, nilai tambah tersebut justru dinikmati China, bukan Indonesia. Sebab, nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen.
Faisal pun menjelaskan, Indonesia baru sebatas memproses bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) atau feronikel. Sementara itu, sebesar 99 persen dari NPI ini diekspor ke China.
Dengan demikian, kebijakan tersebut lebih mendukung pengembangan industri di China. Dia menghitung bahwa ekspor besi dan baja Indonesia yang naik signifikan sebagai dampak dari program hilirisasi, seharusnya komoditas ini bisa lebih ditingkatkan lagi nilai tambahnya di dalam negeri.
Fakta lainnya, Faisal melihat tidak semua uang hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Mengingat, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, sementara kala itu Indonesia menganut rezim devisa bebas.
Perusahaan China pun tidak wajib menempatkan devisa hasil ekspor di Indonesia, yang kemudian membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri. Bukti Indonesia yang dirugikan juga terlihat dari ekspor olahan bijih nikel yang sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya, melalui tax holiday.
“Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar,” tambah Faisal.
Dia mengatakan, perusahaan smelter China juga tidak membayar royalti sepeser pun. Justru perusahaan penambang nikel, yang hampir semua adalah pengusaha nasional, yang membayar royalti.
Dikatakan Faisal, pemerintah hanya pernah menerima pajak ekspor, ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel saja.
Kendati demikian, Faisal menegaskan bahwa dia mendukung sepenuhnya industrialisasi. Namun, dia menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang.
“Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia,” jelasnya.
Dia mengatakan, kebijakan hilirisasi nikel sudah berlangsung hampir satu dasawarsa. Namun, justru peranan sektor industri manufaktur terus menurun, dari 21,1 persen pada 2014 menjadi hanya 18,3 persen per 2022. Angka tersebut menjadi titik terendah sejak 33 tahun terakhir.
Bukan itu saja, Faisal menilai keberadaan smelter nikel juga tidak memperdalam struktur industri nasional. Dia meminta masyarakat jangan membayangkan produk smelter dalam bentuk besi dan baja yang langsung bisa dipakai untuk industri otomotif, pesawat terbang, kapal, bahkan untuk industri peralatan rumah tangga seperti panci, sendok, garpu, dan pisau sekalipun.
“Ada memang, tetapi jumlahnya sangat sedikit,” ungkapnya.