HOLOPIS.COM, JAKARTA – Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah menilai bahwa tidak efektif mencari-cari jalur hukum untuk sekadar menjerat Rocky Gerung dalam konteks dugaan ujaran kebencian kepada Presiden Joko Widodo.
Hal ini disampaikan oleh Insiyah untuk merespons banyaknya laporan sejumlah kalangan terhadap Rocky Gerung di kantor polisi.
“Dibanding repot mencari-cari delik pidana untuk menjerat RG, jika memang tidak bisa mengabaikan berbagai pelaporan warga dan relawan Jokowi, Polri bisa mengambil langkah moderat dengan menerapkan restorative justice, sekaligus memainkan peran dialog dengan pihak-pihak yang berkeberatan,” kata Insiyah dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Holopis.com, Senin (7/8).
Ia menyarankan agar Polri bisa lebih berperan aktif sebagai jembatan demokratik yang baik dalam mengurai permasalahan ini.
“Polri bisa menjadi jembatan demokratik untuk tetap menjaga ruang publik tetap sehat dan demokratis,” ujarnya.
Lalu, ia juga khawatir jika proses hukum ini berjalan sampai ke perkara pidana, bakal menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia.
“Sekaligus memutus praktik berulang tuduhan pembungkaman dengan menggunakan instrumen hukum,” lanjutnya.
Gaduh Rocky Gerung Pemelintiran Kebencian
Di sisi lain, Insiyah juga menduga bahwa hebohnya reaksi sejumlah kalangan adalah bagian dari agenda pemelintiran kebencian kepada sosok Rocky Gerung yang memang terkenal pedas mengritik pemerintah.
“Membaca dinamika respons publik atas RG, sangat kuat bahwa kasus ini sesungguhnya merupakan bentuk pelintiran kebencian atas RG,” tandasnya.
Hal ini karena dari sekian banyak narasi kontra yang ada, cenderung tak pernah menyentuh substansi yang disampaikan Rocky, sehingga diksi kasar itu harus keluar dari mulutnya.
“Substansi kritik RG sesungguhnya mewakili aspirasi publik yang selama ini tersumbat atau disumbat,” ucapnya.
Ditambah lagi, kelompok yang melakukan reaksi negatif kepada Rocky Gerung atas statemennya itu adalah mereka yang cenderung sebagai relawan Jokowi dan pegiat demokrasi tematik.
“Kemarahan dan keonaran artifisial yang saat ini mengemuka nyatanya hanya ditunjukkan oleh kelompok relawan dan pegiat demonstrasi musiman. Sebagian besar masyarakat lebih berfokus pada substansi, sekalipun menyayangkan pilihan diksi RG,” tukasnya.
Oleh sebab itu, ia menilai kuat bahwa unsur kemarahan berasal dari substansi kebencian, bukan esensi kritik.
“Hate Spin atau pelintiran kebencian adalah gabungan dari konsep hate speech (ujaran kebencian) dengan kemarahan karena ketersinggungan (offence-taking), dimana hal ini banyak digunakan oleh para entrepreneur politik untuk memobilisasi pendukung dan menyerang kelompok sasaran tertentu (Cherian George, 2017),” paparnya.
“RG hari ini menjadi korban pelintiran ini, setelah pernyataannya direspons secara berjarak dengan jeda waktu dari peristiwa dan orkestrasi struktural,” pungkasnya.