HOLOPIS.COM, JAKARTA – Kelompok Kerja (POKJA) proyek penyediaan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tahun 2020-2022 kecipratan uang Rp 500 juta. Uang itu disebut ‘uang capek’.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan terdakwa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, eks Direktur Utama (Dirut) Bakti Anang Achmad Latif dan eks Tenaga Ahli Human Development (HUDEV) Universitas Indonesia Yohan Suryanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (3/8). Ada tiga saksi asal Pokja yang dihadirkan jaksa dalam persidangan ini. Ketiga saksi itu yakni, Gumala Warman selaku Ketua Pokja sekaligus Kepala Divisi (Kadiv) Pengadaan dan Sistem Informasi Direktorat Sumberdaya Administrasi Bakti, Darien Aldiano Wakil Ketua Pokja, dan Seni Sri Damayanti Anggota Pokja.
Dalam kesaksiannya, Darien yang menerima uang itu dari Windi Purnama selaku Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera yang juga tersangka perkara ini. Uang itu diterima oleh POKJA proyek BTS Kominfo setahun setelah pelelangan tender. Darien saat itu menerima Rp 500 juta secara tunai di sebuah SPBU di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
“Eeee saya dapat dari windi purnama, majelis. total untuk 5 orang POKJA, 500 juta, Majelis,” ungkap Darien saat bersaksi, seperti dikutip Holopis.com.
Darien mengklaim saat itu dirinya tak mengetahui barang yang diserahkan Windi adalah uang Rp 500 juta. Pasalnya, uang tersebut dibungkus kardus kecil.
“Arah jalan pulang di daerah Tebet. Saya janjian di Pom Bensin. Habis itu ketemu, dia kasihin dus gitu. Kasih saya dus. Dus kecil,” ucap Darien.
Darien mengaku tak tahu banyak soal maksud dan tujuan pemberian uang tersebut. Windi Purnama, sepengetahuan Darien, sebagai mantan tenaga ahli di BAKTI Kominfo.
“Sepengetahuan saya, dulu tuh (Windi Purnama) pernah menjadi salah satu tenaga ahli di BAKTI,” ujar Darien.
Namun, sambung Darien, saat itu dirinya sempat diberitahu oleh Direktur Utama BAKTI Kominfo bahwa akan ada pemberian ‘uang capek’. “Saya pernah dipanggil ke ruangan Pak Dirut saat itu. Beliau sampaikan bahwa ada nanti dikasih hadiahlah, uang capek,” ujar Darien.
Dari Rp 500 juta itu, Darien menerima Rp 150 juta. Majelis hakim dalam persidangan sempat heran Darien menerima Rp 150 dari Widi namun tidak tahu untuk kepentingan apa.
“Pertanyaannya apa hubungan Widi Purnama kepada tiga konsorsium yang menang itu,” cecar hakim.
“Saya tidak tahu Yang Mulia” kata Darien.
“Tidak tahu saudara. Kalau kita dikasih orang itu kan mau tahu itukan naluri manusia. Sama begini terjadi tabrakan ada mobil secara reflek manusia melihat. Kecuali dia budeg, pasti kita lihat ke situ. Itulah refleksinya manusia,” cetus hakim.
“Ada ingin tahu, sama dengan saudara dipanggil kemudian dikasih uang, itu tidak sedikit Rp 150 juta. Tapi suadara tidak ingin tahu siapa Widi Purnama. Pasti kita ingin tahu sebagai manusia kecuali orangnya sudah sering menerima uang,” sambung hakim.
“Masalahnya Widi ini punya kepentingan apa pada pelelangan yang saudara lakukan itu. Sehingga ia berikan uang Rp 150 juta,” cecar hakim.
“Tidak tahu,” kata Darien merespon.
“Uang itu dibelikan apa?” tanya hakim.
“Pakai untuk berobat tindakan operasi di RS,” jawab Darien.
“Habis semua untuk berobat,” tanya hakim
“Iya Yang Mulia,” jawab Darien.
Berbeda dengan Darien, Gumala selaku Ketua POKJA menerima uang Rp 200 juta. “(Dapat) 200 juta,” ujar Gumala saat bersaksi.
Sementaa Anggota POKJA, Sri Damayanti dalam kesaksiannya menerima uang Rp 50 juta. “Saya dapat 50 juta, Yang Mulia. Anggota dapat 50 juta,” kata Sri.
Dalam kesaksiannya, tiga anggota Pokja itu mengaku sudah mengembalikan uang pemberian Windi itu. Darien dan Gumala kompak mengaku sudah mengembalikan.
“Sudah semua dikembalikan,” kata Darien dan Gumala.
Lantas Hakim bertanya apa alasan para saksi mengembalikan uang pemberian tersebut, apakah imbas adanya kasus dugaan korupsi atau alasan lain. Dikatakan Gumala mengembalikan uang lantaran merasa uang tersebut berkaitan dengan perkara persidangan.
“Saya merasa itu ada kaitan, ada pertanyaan di penyidikan juga terkait itu, saya jawab saya siap kembalikan. Saya merasa ada kaitan dengan kegiatan ini pak,” tutur Gumala.
“Kalau nggak ada perkara tetap diambil itu ya?” tanya hakim.
“Belum tahu pak,” jawab Gumala.
Dalam perkara ini, Johnny, Anang, dan Yohan telah didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tower BTS bersama tiga terdakwa lainnya, yakni: Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak Simanjuntak; dan Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali.
Keenam terdakwa telah dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain perkara korupsi, Anang Latif, Galumbang Menak, dan Irwan Hermawan juga dijerat tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni Pasal 3 subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.