“Para pendiri negara ini sudah memilih visi negara kesejahteraan. Agar masyarakat semakin cerdas dan makmur, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Bung Hatta dan kawan-kawan yang melihat langsung depresi di Eropa 1920 hingga 1930. Mereka sadar betul, depresi itu terjadi karena sistem kapitalisme yang ugal-ugalan dan spekulatif. Mereka semua menolak, negara yang mereka perjuangkan untuk merdeka, ikut sistem ekonomi kapitalisme yang seperti itu. Itulah alasan mereka memilih model negara kesejahteraan dengan merujuk pada negara-negara Skandinavia, untuk membentuk rakyat cerdas dan makmur,” imbuh bekas Anggota Tim Panel Ekonomi PBB bersama tiga peraih Nobel itu.
Rujukan negara kesejahteraan tersebut yakni konsep swasta, negara dan swasta populasi, untuk memastikan sistem negara tak mengarah pada ekonomi 100 persen kapitalisme, yang hanya menguntungkan kelompok kaya.
“UU Omnibus Law ini bertentangan dengan UUD. Karena menjadikan buruh lebih miskin dan hanya alat produksi, bukan bagian pekerja yang sama-sama menikmati kemakmuran. Contoh sedehana, beberapa tahun terakhir inflasi makanan 7 persen, bisa-bisanya pemerintah hanya memperkenankan kenaikan upah maksimum hanya 1,4 persen rata-rata. Padahal di zaman Pak Karno, Pak Harto, upah buruh itu 2 hingga 3 persen di atas inflasi. Sehingga buruh juga ikut menikmati manfaat pembangunan. Ini kan menjadikan buruh menjadi miskin ramai-ramai,” kata Rizal Ramli.
Padahal, lanjutnya, upah buruh itu umumnya hanya 15 persen dari total cost perusahaan. Sementara biaya ‘bancakan’ perusahaan, rata-rata mencapai 30 persen.
“Seharusnya, daripada ‘ngobras’ upah buruh, pemerintah harusnya membuat pemerintahan yang lebih bersih. Supaya biaya going business yang 30 persen itu bisa berkurang. Di negara lain biaya going business ini hanya 3 persen dari total cost business. Ini alasan mengapa Vietnam, Thailand dan Malaysia itu sangat menarik,” tandas Rizal Ramli.