HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ekonom senior, Rizal Ramli menyarankan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang diketok palu DPR pada Maret 2023 silam. Pasalnya, regulasi yang masuk dalam intrumen Omnibus Law itu merugikan kepentingan nasional, termasuk puluhan juta buruh, dan hanya menguntungkan kepentingan oligarki saja.
Menurut bekas Anggota Tim Panel Ekonomi PBB bersama tiga peraih Nobel itu, alasan pemerintah menerbitkan kembali UU Cipta Kerja Omnibus Law karena ekonomi nasional dalam kondisi sangat genting akibat pandemi Covid dan dampak krisis global adalah hal yang mengada-ada.
“Alasan ini menurut saya terlalu mengada-ada, karena faktanya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020-2023 tercatat sekitar 5 persen. Jelas, ekonomi tumbuh 4,5 hingga 5 persen itu tidak genting. Dan masih bisa diatasi dengan cara-cara inovatif,” kata Rizal saat sidang Judicial Review tentang Omnibus Law di MK, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (27/7) seperti dikutip Holopis.com.
Dalam kesempatan itu, Rizal Ramli pun menjelaskan cara yang dilakukannya sewaktu masih menjadi Menko Ekonomi pemerintah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam membenahi perekonomian Indonesia pada tahun 2000. Bahkan, sambung ekonom yang terkenal dengan jurus “Rajawali Ngepret” dan “Rajawali Bangkit” itu, ekonomi Indonesia saat itu dari minus 3 berhasil naik hingga positif 4,5 persen, sehingga kenaikannya mencapai 7 persen dalam waktu 21 bulan.
“Itu tanpa UU Cipta Kerja yang termaktub dalam Omnibus Law. Tapi cara-cara inovatif. Misalnya dengan menaikkan gaji pegawai negeri hingga 125 persen. Banyak cara inovatif, out of the box, dalam mengatasi masalah ekonomi yang bisa kita lakukan untuk mengurangi kesenjangan, yang waktu itu angka gini ratio adalah yang terendah dalam sejarah Indonesia,” tuturnya.
Rizal Ramli menekankan bahwa ekonomi dikatakan genting jika pertumbuhan ekonomi berada pada angka negatif. Seperti tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia yang biasa berada pada kisaran 6 persen, anjlok ke minus 12,5 persen, yang membutuhkan tindakan besar dan signifikan.
“UU Cipta Kerja yang termaktub dalam intrumen Omnibus Law tak biisa dijadikan alasan dalam mengatasi kegentingan ekonomi. Itu terlalu mengada-ada dan membodohi masyarakat Indonesia,” tukasnya.
Alasan kedua pemerintah bahwa Omnibus Law dibutuhkan untuk menyederhanakan peraturan, perizinan, birokrasi yang ruwet dan tumpang tindih aturan, menurut Rizal Ramli, hal itu bisa diterima. Namun, pada kenyataannya praktiknya tak sesuai dengan yang diucapkan.
“Alasan ini masuk akal. Karena birokrasi kita memang ruwet, mempersulit, terlalu banyak tumpang tindih aturan dan perizinan. Tapi, yang dihasilkan Omnibus Law adalah masalah yang semakin ruwet,” imbuh Rizal Ramli.
Ia mengemukakan, Omnibus Law tertuang dalam 1.000 halaman dengan tambahan penjelasan 500 halaman.
“Masak bisa disederhanakan dengan Undang-undang yang sebanyak itu. Antara pasal banyak konflik, banyak perbedaan, sehingga untuk memahaminya perusahaan besar saja harus menyewa lawyer yang mahal. Apalagi, usaha kecil dan menengah. Bagaimana mereka bisa memahami UU itu,” paparnya.
Baca selengkapnya di halaman kedua.