HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Bidang Perlindungan Anak PB SEMMI, Apridhon Rusadi memberikan kritikan pedas untuk tata kelola pendidikan di Indonesia. Hal ini terkait dengan maraknya kriminalitas dan fenomena pembulian di lingkungan sekolah.
Menurut Apridhon, pendidikan seharusnua menjadi wadah yang tepat bagi pengembangan karakter dan intelektual generasi bangsa.
“Hak pendidikan dan hak jadi terdidik adalah hak setiap anak bangsa, sehingga pendidikan mesti membentuk masyarakat berkarakter,” kata Apridhon kepada Holopis.com, Rabu (5/7).
Sejauh ini menurut dia, kerap sekali terlihat bahwa anak didik selalu dianggap tidak lebih dari sekadar objek pendidikan. Seharusnya, lingkungan pendidikan seharusnya menjadi wadah yang paling tepat bagaimana anak-anak bisa meningkatkan rasa percaya diri dan melakukan pengembangan diri melalui berbagai pengalaman yang dijalaninya.
“Padahal karakter pendidikan itu sendiri mewujudkan masyarakat yang percaya diri bahwa dia memiliki dirinya sendiri dengan pengalaman dan pembelajaran yang selama ini didapatkannya di dunia pendidikannya,” ujarnya.
Hal yang cukup krusial menurut Apridhon adalah, sekolah cenderung hanya melihat bagaimana peserta didiknya berpikir, bukan aspek sosial dan karakter.
“Miris memang melihat warna pendidikan saat ini yang hanya mengedepankan kemampuan berfikir tanpa melihat nilai sosial dan karakter dasar seorang anak manusia,” tandasnya.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang booming dewasa ini, mulai dari aksi pembacokan hingga tewas terhadap pelajar SMK Bina Warga 1 Kota Bogor berinisial AS (16) di Pomad Bogor, hingga kasus penganiayaan Cristalino David Ozora oleh Mario Dandy Satriyo dan Shane Lukas hingga koma.
Bagi Apridhon, persoalan ini menjadi bagian dari sisi gelap pendidikan nasional yang kurang memperhatokan aspek sosial dan moralitas.
“Mungkinkan kacamata pendidikan saat ini hanya melihat seorang peserta didik dari kacamata aliran behaviorisme yang beranggapan bahwa anak didik yang melakukan aktivitas belajar seperti membaca buku, mendengarkan penjelasan guru, mengarahkan pandangan kepada seorang guru yang menjelaskan di depan kelas, termasuk dalam kategori belajar,” paparnya.
“Mereka tidak melihat ke dalam fenomena psikologis anak didik. Aliran ini berpegang pada realitas dengan mata telanjang dengan mengabaikan proses mental dengan segala perubahannya, sebagai akibat dari aktivitas belajar tersebut,” sambungnya.
Hingga baru-baru ini yang dialami oleh seorang pelajar kelas VII SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah berinisial RSE yang tega membakar gedung sekolahnya sendiri. Dimana dalam pengembangannya, motif utamanya adalah sakit hati karena sering dirundung oleh teman sekolah hingga gurunya sendiri.
“Mesti dipahami mungkin, bahwa guru itu ibaratkan teman atau kakak yang mendorong peserta didik bisa menemukan potensi dirinya sebagaimana slogan tutwuri handayani,” tuturnya.
Dengan berbagai persoalan yang ia paparkan tersebut, Apridhon berharap besar agar instrumen pendidikan nasional melalukan pembenahan dam evaluasi secara menyeluruh di semua level. Yakni dalam rangka memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal, tidak sekadar mengejar nilai akademik tapi juga memberikan dukungan moril yang terbaik untuk para peserta didik.
“Dengan semboyan tutwuri handayani ini diharapakan seorang pendidik harus bisa menjadi tauladan di tengah murid. Pendidik harus bisa memberikan ide. Dan di belakang, seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan,” tukasnya.
“Sewajarnyalah pendidikan menciptakan kenyamanan peserta didik yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, di mana pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan,” sambung Apridhon.
Terakhur, Apridhon juga memberikan saran agar semua stakeholder yang berkepentingan agar bisa melakukan pembahasan dan evaluasi menyeluruh demi masa depan generasi muda Indonesia yang lebih baik.
“Perlu duduk bersama KPAI, Menteri Pendidikan, dan Menteri Perlindungan Anak. Mari kembalikan peran Guru untuk digugu (didengarkan) dan ditiru (dicontoh), bukan sekadar untuk tranfer ilmu pengetahuan tapi juga tranfer moral,” pungkasnya.