HOLOPIS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai saat ini masih menelusuri aliran dana Lukas Enembe yang dilaporkan untuk biaya makan dan minum.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur mengatakan, pihaknya masih kesulitan untuk menelusuri dana makan dan minum yang setiap harinya bisa menghabiskan Rp 1 miliar.
“Karena kegiatannya kan satu provinsi, sebelum kemarin ada pemekaran provinsi ya, daerah otonomi baru/DOB,” kata Asep dalam keterangannya yang dikutip Holopis.com, Kamis (29/6).
Permasalahan yang paling utama adalah karena lokasi yang dilaporkan Lukas Enembe terbilang sulit untuk diakses transportasi.
“Bisa ke pegunungan, mungkin juga ya karena dengan transportasi yang saat ini belum begitu lancar. Karena harus antarkabupaten dengan pesawat akhirnya mungkin menjadi ada kelebihan harga di situ,” ujarnya.
Asep pun menambahkan, upaya yang dilakukan penyidik pun saat ini mengklarifikasi satu persatu restoran yang dilaporkan oleh kader partai Demokrat itu.
“Kita sedang coba untuk klarifikasi, datang ke rumah makan apakah benar ini tanggal sekian pesan makan di sini, berapa banyaknya, jumlahnya. Kalau pun memang benar, apakah benar sampai Rp 1 miliar satu hari itu kan yang perlu kita klarifikasi,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim bahwa Lukas Enembe telah memanfaatkan anggaran APBD sewaktu menjabat sebagai Gubernur Papua untuk kepentingan pribadinya.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengungkapkan, kader partai Demokrat itu bahkan diketahui sempat berjudi di Singapura dengan modal dari hasi menyunat anggaran APBD.
“Dari sisi aliran dana itu yang mungkin bisa kita lihat sebesar besar dana yang digunakan oleh yang bersangkutan untuk berjudi. Dari mana dana-dana itu diperoleh sejauh ini memang sebagian besar berasal dari penyalahgunaan APBD,” kata Alex Selasa (27/6).
Menurut Alex, selama tiga tahun terakhir sejak tahun 2019 sampai 2022, Lukas Enembe selalu melaporkan penggunaan dana operasional mencapai Rp 1 triliun.
“Tiap tahun dana operasional yang bersangkutan itu Rp 1 triliun lebih. Itu jauh lebih tinggi dari ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri,” ungkapnya.