“Sebelum persidangan, korban (adik kami) dan kakaknya (saksi) dipanggil oleh Jaksa penuntut kasus tersebut. Saat di Kejaksaan, adik kami dipanggil ke ruangan pribadi Jaksa penuntut kasus ini. Ia berkali-kali menggiring opini psikologis korban (adik kami) untuk ‘memaaafkan’, ‘kami harus bijaksana’, ‘kamu harus mengikhlaskan’,” jelasnya.

Tidak hanya itu saja, saat agenda persidangan kedua dan ketiga, kuasa hukum korban diusir dari area persidangan baik yang offline maupun yang online. Alasan yang dikemukakan kata Iman karena tidak ada relevansinya kuasa hukum ikut dalam forum persidangan tersebut.

Akibat perlakuan persidangan semacam itu, Iman pun mencoba untuk mengupayakan perlindungan dari Posko Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kejaksaan Negeri Pandeglang. Dan ternyata, semua permainan hukum yang dirasakan oleh keluarga korban mulai kentara dirasakan.

“Di sana, permainan baru saja dimulai,” tandasnya.

Yang pertama, foto korban sampai diunggah oleh Akun Instagram Kejaksaan Negeri Pandeglang dengan tanpa sensor. Kondisi ini pun membuat pihak keluarga korban protes hingga akhirnya dihapus oleh admin.

“13 Juni 2023, Pukul 15.00 WIB saya mengantar korban (adik saya) ke Kejaksan karena Kejari Pandeglang memiliki program Posko Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Kok tega mereka memposting wajah korban di IG nya. setelah saya protes baru dihapus. Jejak masih ada,” terang Iman.

Pengaduan di PPA Kejaksaan Negeri Pandeglang itu, pihak keluarga ditemui oleh Jaksa berinisial D. Obrolan di sana menurut Iman sangat cair dan santai. Bahkan sang Jaksa mengaku memiliki adik berinisial SI (Salsa Istiara) yang juga kuliah di kampus yang sama dengan korban.

Panjang kali lebar ia sampaikan semua keanehan di dalam persidangan di PN Pandeglang kepada Jaksa D di PPA Kejaksaan Negeri Pandeglang tersebut. Mulai dari alat bukti yang dihadirkan berbeda. Dan yang paling krusial menurut Iman adalah alat bukti utama video asusila justru tidak dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Alasannya kata Iman karena laptop yang ada di pengadilan tidak support.

Sayangnya, suasana cair itu justru terganggu dengan hadirnya salah satu jaksa yang ia keluhkan di ruang PPA Kejari Pandeglang. Iman mengatakan bahwa sang Jaksa tak suka mengapa keluarga korban membawa pengacara ke arena persidangan.

“Saat melapor ke posko PPA, tiba-tiba datang Jaksa Penuntut (yang kami laporkan), datang ke ruangan pengaduan. Jaksa tersebut langsung memarahi saya dan korban. Alasannya, karena kami memakai pengacara. Saat itu datang pula ibu Kejari Pandeglang ibu H, yang justru menambahkan ‘ngapain pake pengacara, kan gak guna? cuma duduk-duduk aja kan?’. Sumpah demi Allah, saya dengar sendiri. Bukankah ini hinaan bagi profesi pengacara?,” tegasnya.

Dan yang paling menyakitkan hatinya, karena pihak Kejari yang berinisial H tersebut menyatakan bahwa kasus ini tidak bisa diteruskan karena tidak adanya bukti visum kekerasan seksual.

“Saat itu justru ibu Kejari Pandeglang mendemotivasi kami dengan menyatakan bahwa kekerasan seksual dan pemerkosaan kasus ini tidak bisa dibuktikan karena tidak ada visum,” kisahnya.

Melihat suasana yang tidak kondusif di ruang pengaduan PPA Kejari Pandeglang, Iman dan adiknya pun langsung meninggalkan lokasi begitu saja.

“Saat itu saya segera mengajak adik saya pergi karena ini bukan lagi posko PPA. Posko PPA Kejari Pandeglang justru berubah menjadi posko reproduksi kekerasan kepada korban kekerasan Perempuan dan Anak,” tegasnya.

Tak lama dari pengaduan itu, pemilik akun Instagram Salsa Istiara yang disebut-sebut adik Jaksa D menghubungi korban untuk meminta nomor telepon. Alasannya, karena nomor telepon yang dicantumkan saat registrasi pengaduan kurang jelas. Karena ada upaya untuk dilakukan pertemuan antara Jaksa D dengan korban untuk membahas kasus ini secara private.

“Menurut Jaksa D, adik kami hanya akan ngobrol santai seperti teman. Orang yang mengaku Jaksa D tersebut meminta untuk tidak bercerita atas pertemuan ini kepada orang lain. Selain itu ia meminta agar pertemuannya dilaksanakan di cafe yang memiliki fasilitas live music,” terang Iman.

Menurutnya, ini adalah sebuah kejanggalan dan upaya untuk menarik keluar korban dari savehouse. Sehingga pihaknya pun mencoba menghubungi Kejaksaan Negeri Pandeglang, Helena untuk mempertanyakan, apakah ada perintah dari Kejaksaan terkait dengan ajakan Jaksa D. Ternyata pihak Kejari membantah adanya perintah tersebut.

“Ketika korban (adik kami) akan memberikan bukti cuplikan gambar chat/percakapan dengan orang yang mengaku sebagai Jaksa D kepada ibu Kejari Helena dengan nomor telepon 0856 47119047, tiba-tiba chat tersebut hilang/ditarik,” jelasnya.

Melihat semua rangkaian peristiwa itu, Iman akhirnya memilih meminta perlindungan keamanan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), termasuk dalam pendampingan sidang pembacaan tuntutan yang akan dilaksanakan pada hari Selasa besok.

“Kami sudah melapor ke LPSK dan menunggu sidang tuntutan pada Selasa, 27 Juni 2023 nanti,” pungkasnya.