Jadi, jika Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 berlaku untuk periode saat ini, maka ia menilai bahwa MK sedang tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Bahkan apa yang dilakukan MK menurutnya bisa berdampak pada kekacauan hukum dan justru terjadi ketidakpastian hukum.

“Maka MK tidak hanya abai dalam membuat putusan yang harusnya kekuatan eksekutorialnya bersifat progresif (berlaku ke depan), namun juga berpotensi menyebabkan kekacauan, ketidakpastian, dan pertentangan hukum baru. Dimana Keppres 129/P Tahun 2019 tentang pengangkatan KPK tetap sah hingga masa akhir jabatan pimpinan KPK berakhir di 2023,” paparnya.

Bagi Insiyah, keputusan majelis hakim yang dipimpin oleh Anwar Usman tersebut malah menunjukkan bahwa MK sangat offside dalam persoalan ini. Sebab, seharusnya perubahan itu bukan menjadi domain MK, melainkan pembentuk Undang-Undang yakni DPR RI dan Pemerintah.

“Putusan MK yang membentuk norma baru, yakni mengubah masa jabatan dari 4 tahun menjadi 5 tahun, adalah keluar jalur karena itu kewenangan pembentuk UU,” tegasnya.

Dengan demikian, Insiyah menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengabaikan putusan majelis hakim MK atas putusan perkara nomor 112/PUU-XX/2022 tersebut.

“Presiden Joko Widodo, sebaiknya mengabaikan putusan MK ini untuk kepentingan penguatan KPK, meluruskan cara berkonstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan, dan tetap melanjutkan pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK baru,” tuturnya.

Paralel dengan langkah ini, Presiden dan DPR selaku pembentuk UU segera menyelenggarakan agenda legislasi membahas perubahan norma dalam UU KPK yang diujikan tersebut.

“Putusan MK terkait masa jabatan ini akan menimbulkan preseden konstitusional terburuk dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia,” pungkasnya.

Nomor Perkara 112/PUU-XX/2022

Sekadar diketahui Sobat Holopis, bahwa salah satu Ketua KPK Nurul Ghufron melakukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam upaya tersebut, Ghufron mengutus tiga orang advokat yakni Walidi, Mohamad Misbah dan Periati Br Ginting.

Atas permohonan pengujian terhadap UU KPK tersebut, MK menerbitkan nomor perkara 112/PUU-XX/2022 untuk disidangkan. Dimana pihak Nurul Ghufron meminta agar ada revisi terhadap Pasal 29 huruf (e) Pasal 34, yang berbunyi antara lain ;

Pasal 29 huruf (e)
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Warga negara Indonesia;
b) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) Sehat jasmani dan rohani;
d) Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
e) Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f) Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g) Cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h) Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i) Melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
j) Tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
k) Mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

Kemudian pada sidang pembacaan putusan yang dilakukan pada Kamis (25/5), majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan tersebut dan menetapkan bahwa masa kepemimpinan KPK menjadi 5 tahun.

“Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan,” kata hakim MK, Muhammad Hamzah Guntur.

Ada 4 (empat) hakim yang tidak setuju dengan keputusan tersebut. Mereka antara lain ; Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih. Sementara yang setuju ada 5 (lima) hakim, yakni ; Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah dan Manahan MP. Sitompul.