Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pembentukan Kodam (Komando Daerah Militer) dengan tujuan agar setara dengan Polri yang punya Polda disetiap wilayah, dinilai Pengamat Militer dari ISESS (Institute for Security and Strategic Studies), Khairul Fahmi tidak tepat.

Menurutnya, pembentukan Kodam harus didasari dengan adanya ancaman militer. Sedangkan, pembentukan Polda di tiap provinsi didasari dengan mengikuti daerah otonomi.

“Menyamakan posisi Kodam dengan Polda itu tidak tepat. Saat ini, posisi Polri itu setaranya adalah dengan organisasi TNI bukan dengan matra sebagaimana ketika Polri masih berada di bawah ABRI,” jelasnya kepada wartawan yang dikutip Holopis.com, Selasa (23/5).

“Lagipula pembentukan Polda di setiap provinsi memiliki basis argumen dan urgensinya sendiri berdasarkan perundang-undangan. Pembentukan polda berbasis wilayah hukum yang mengikuti daerah otonomi, sedangkan pembentukan kodam mestinya didasarkan pada potensi ancaman militer. Tidak bisa disama-ratakan,” sambungnya.

Selain itu, Khairul mengatakan pembentukan satuan harus dilakukan dalam rangka kebutuhan. Oleh karena itu, wacana pembentukan Kodam kurang sejalan dengan rencana pematangan Kogabwilhan yang merupakan representasi TNI.

“Pengembangan Kodam itu kurang sejalan dengan rencana pemantapan fungsi Kogabwilhan sebagai representasi interoperabilitas TNI. Pembentukan satuan teritorial, mestinya dilakukan dalam kerangka kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi TNI, bukan sekadar penyelarasan dengan wilayah administrasi pemerintahan daerah dan kepolisian,” ujarnya.

Khairul juga menyampaikan hal yang paling relevan dilakukan untuk menyelaraskan dengan pemerintahan daerah dan kepolisian.

“Nah kalaupun ada kehendak untuk menyelaraskan dengan pemerintahan daerah dan kepolisian maka yang mestinya lebih relevan adalah pembentukan organisasi yang akan menjadi perpanjangan tangan atau pelaksana tugas dan fungsi Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI di daerah, untuk melakukan pembinaan potensi dan komponen pertahanan negara. Bukan sekadar satuan teritorial TNI AD,” lanjut Khairul.

Jika rencana tersebut dilakukan maka akan muncul kekhawatiran, yakni kecemburuan terhadap matra TNI lain.

“Rencana itu juga akan memunculkan pertanyaan terkait proporsionalitas dan masa depan rencana-rencana pembentukan satuan teritorial di matra lainnya. Seperti Kodamar TNI AL dan Kodau TNI AU, apakah juga akan dikembangkan dengan mengacu pada administrasi pemerintahan daerah atau tetap mengacu pada proyeksi ancaman-tantangan yang bersifat militeristik serta potensi gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah?” pungkasnya.