HOLOPIS.COM, JAKARTA Soliditas TNI Polri dinilai masih rentan dan rapuh, dengan terjadinya peristiwa penyerangan dan perusakan fasilitas Polisi oleh orang tak dikenal yang di duga oknum TNI di Kupang, NTT (Nusa Tenggara Timur).

Menurut Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, soliditas yang masih belum kuat ini justru akan mudah memicu konflik yang bisa membesar antara prajurit TNI dan anggota Polri di lapangan.

Selain peristiwa di Kupang, penyerangan Polres Jeneponto juga memperlihatkan soliditas kedua institusi ini tidak dalam kondisi baik – baik saja. Hendardi, sangat menyayangkan hal yang terjadi itu.

“Oknum TNI dan Polri yang seharusnya memastikan keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi justru secara signifikan menjadi penyebab instabilitas keamanan dan ketertiban tersebut, sehingga menyebabkan ketakutan dan mengganggu hak rasa aman warga di tengah masyarakat,” katanya dalam keterangan yang dikutip Holopis.com, Sabtu (29/4).

Hendardi mengatakan, untuk mengatasi kondisi itu tidak terulang maka dibutuhkan leadership di tubuh TNI dan Polri menjadi kunci utama.

“Kalau leadership yang dikembangkan adalah kontestasi kekuatan dan bahkan permisif terhadap kekeliruan jiwa korsa, maka yang akan terjadi adalah konflik laten dan pengutamaan supremasi institusi masing-masing,” ujarnya.

“Padahal, di masa kepemimpinan TNI di bawah Jenderal Andika Perkasa, penegakan hukum atas oknum TNI cukup menjanjikan dan supremasi sipil dijaga dengan baik,” sambung Hendardi.

Terulangnya peristiwa TNI serang Polri juga akibat tidak adanya efek jera, dimana TNI masih menikmati previlege dengan berlindung di balik Peradilan Militer, yang hanya anggota militer saja yang tahu bagaimana prosedur dan mekanisme penghukuman itu dijalankan.

Presiden dan DPR sudah semestinya mengagendakan perubahan UU Peradilan Militer untuk menegaskan bahwa semua orang, jika melakukan tindakan pidana umum, sekalipun dia seorang anggota TNI, tetap harus tunduk pada peradilan umum.