HOLOPIS.COM, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali merombak kebijakan minyak goreng, salah satunya terkait kewajiban pasokan dalam negeri alias domestic market obligation (DMO) minyak goreng.
Mulanya, DMO minyak goreng ditetapkan sebesar 450.000 ton per bulan. Namun dalam aturan terbaru ini, DMO minyak goreng itu diubah menjadi 300.000 ton per bulan.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag, Kasan Muhri menjelaskan, bahwa perombakan kebijakan DMO minyak goreng tersebut mulai berlaku pada 1 Mei 2023 mendatang.
“Pemerintah mengambil kebijakan, pertama angka besaran DMO dilakukan pengurangan dari 450.000 ton yang berlaku sampai akhir April kembali ke 300.000 ton,” ujar Kasan dalam konferensi pers yang dikutip Holopis.com, Kamis (27/4)
Adapun pertimbangan diturunkannya target DMO tersebut setelah melihat kondisi minyak goreng kemasan maupun premium selama Ramadan dan setelah Idul Fitri atau Lebaran, serta harga tandan buah segar (TBS) sawit yang kini sudah relatif stabil, yakni di level Rp 2.000 per kilogram (kg).
Selain itu, perubahan target DMO tersebut juga mempertimbangkan hak ekspor dan sekaligus menjaga pasokan DMO tetap dalam kondisi stabil.
Selain itu, Kemendag juga menurunkan rasio volume ekspor minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya menjadi 1:4, dari yang sebelumnya yaitu 1:6.
Namun, kebijakan itu juga menaikkan insentif pengali ekspor untuk minyak goreng kemasan bantal, yakni dari yang sebelumnya hanya 1,7 menjadi 2. Lalu, untuk minyak goreng kemasan selain bantal insentif pengali ekspornya menjadi 2,25.
Kasan menegaskan, perubahan berbagai aturan tersebut dilakukan pihaknya agar pelaku usaha lebih tertarik menyulpai DMO minyak goreng dalam bentuk kemasan dan bukan curah lagi.
“Yang terakhir, mencairkan deposito hak ekspor yang secara bertahap dilakukan selama 9 bulan,” tukas Kasan.