HOLOPIS.COM, JAKARTA – Praktisi Hukum, Sukma Bambang Susilo menilai bahwa seharusnya seluruh elemen masyarakat Indonesia menyudahi polemik Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang telah disahkan menjadi Undang-undang oleh DPR RI dan Pemerintah.

Sebab kata dia, seharusnya semua masyarakat Indonesia bisa berbangga diri bisa menghasilkan produk Undang-Undang Hukum Pidana sendiri dan mengakhiri KUHP era kolonial Belanda.

“Karena harusnya semua berbesar hati dan bangga dengan karya anak negeri,” kata Sukma dalam keterangannya yang diterima Holopis.com, Selasa (13/12).

Pasalnya, pengesahan KUHP anyar ini merupakan momentum bersejarah bidang hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dimana, NKRI akhirnya mampu dan bisa melahirkan produk hukum murni dari hasil keringat anak Bangsa sendiri.

Mengingat sebelumnya, Bangsa kita bertahun-tahun menggunakan KUHP produk kolonial Belanda. Di tengah perjalanannya produk hukum itu, sudah tidak relevan lagi dengan kondisi serta kebutuhan hukum pidana di Indonesia saat ini.

Bahkan ia heran jika bangsa Indonesia tidak bangga dengan produk hukum KUHP tersebut. “Bangsa lain mau hormati konstitusi bangsanya sendiri, kita baru mengesahkan buat undang-undang sudah muncul penolakan lewat kajian yang belum tentu juga benar,” ujarnya.

Menurut Sukma, pembuatan RKUHP tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Butuh proses persiapan yang panjang hingga 50 tahun lebih. Mulai dari kajian mendalam, transparan, teliti, dan mengakomodasi berbagai masukan serta gagasan dari semua unsur publik kemudian merumuskannya dalam naskah RKUHP.

Namun, Sukma yang juga diketahui menjabat sebagai Sekretaris Repdem DKI Jakarta itu, mendorong pemerintah di tengah Undang-undang KUHP baru dan akan berlaku tiga tahun sejak disahkan tersebut, agar selalu aktif sosialisasi ke ruang publik.

Pastikan bahwa dalam penjabarannya tak bakal merugikan rakyat. Jadi pemerintah menjamin penuh hak-hak masyarakat terpenuhi, terutama dalam kebebasan menyampaikan pendapat demi kepentingan Bangsa ke depan.

“Seperti pariwisata selama ini berjalan tak masalah. Lalu muncul KUHP baru yang fungsinya tidak terlalu jauh dari undang-undang lama malah sudah jadi polemik. Nah ini harus diluruskan oleh pemerintah,” ucap Sukma.

Tempuh Jalur Konstitusi, Jangan Bicara di Ruang Hampa

Lebih lanjut, Sukma menambahkan, bahwa UU KUHP yang telah disahkan sudah sangat memenuhi semangat modernisasi, terbuka, dan responsif dengan situasi di Indonesia saat ini.

Pun demikian, tidak memungkiri bahwa masih ada yang tak menyetujuinya 100 persen. Tetapi, bagi yang masih merasa tidak relevan atau kurang sempurna, sejatinya menyampaikan lewat mekanisme yang benar. Yakni, mengajukan gugatan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasalnya, dalam semangat menyempurnakan ini tak bisa hanya dilakukan di ruang-ruang hampa atau mengiring opini, namun meski lewat jalur konstitusi.

“Ada jalur konstitusional bisa digunakan untuk melakukan penyempurnaan terhadap itu. Jangan bicara hukum di ruang bukan konstitusi,” pungkasnya.