Holopis.com HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyampaikan bahwa pihaknya sangat mengapresiasi komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menjadikan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai bagian dari visi-misi dan prioritas pemerintah. Hanya saja, dalam pelaksanaannya kedua hal tersebut justru mengalami penyelewengan dari tujuan awal.

“Terkait Reforma Agraria, pada periode kedua pemerintahan Jokowi terjadi upaya menyelewengkan substansi Reforma Agraria sejati (yang sesuai dengan konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 – UUPA 1960). Berbagai deregulasi dan pelemahan-pelemahan substansi Reforma Agraria terjadi secara sistematis, dari pihak-pihak yang kontra terhadap Reforma Agraria sejati,” kata Henry dalam keterangannya kepada Holopis.com, Selasa (8/10).

Henry menyampaikan, langkah-langkah sebagai upaya untuk mempercepat pelaksanaan Reforma Agraria telah diambil pemerintah, dengan mengesahkan Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan dan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

“Hanya saja, Perpres Reforma Agraria yang disahkan bertepatan dengan Hari Tani Nasional tanggal 24 September 2018 tersebut secara batang tubuh berbeda cukup nyata dengan rancangan yang dibahas SPI bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI tahun 2016-2017 lalu. Oleh karenanya, tak mengherankan apabila pelaksanaan peraturan ini lambat dan belum sesuai dengan harapan,” keluhnya.

Henry melanjutkan, mirisnya pelaksanaan Reforma Agraria mengalami hambatan dengan kehadiran omnibus law UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.

“Setelah disahkan pada November 2020, UU Cipta Kerja sudah menunjukkan dampaknya yakni semakin marak terjadi perampasan sumber-sumber agraria yang dimiliki dan dikuasai petani atas nama investasi,” keluhnya.

“Dari catatan SPI, UU Cipta Kerja mengakibatkan kerugian bagi petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Hal ini mengingat UU Cipta Kerja menghapus, dan mengubah substansi peraturan perundang-undangan yang berpihak pada petani dan masyarakat yang bekerja di perdesaan, serta pelaksanaan Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan di Indonesia,” sambungnya.

Henry menerangkan, UU Cipta Kerja bahkan mengandung pasal-pasal yang anti reforma agraria sejati (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria – UUPA 1960).

“Di dalam pasal 125 – 146, UU Cipta Kerja memuat pengaturan baru terkait pertanahan seperti munculnya Hak Pengelolaan (HPL) sebagai dasar hak atas tanah di Indonesia, pembentukan Bank Tanah untuk kepentingan investasi, sampai dengan pemberian hak milik rumah susun bagi warga negara asing,” jelasnya.

“Setelah melalui berbagai tahapan persidangan dalam waktu satu tahun, pada tanggal 25 November 2021 MK memutuskan UU Cipta Kerja Cacat Formil dan Inkonstitusional Bersyarat. Amar putusan MK juga menyatakan bahwa tidak dibenarkan untuk mengambil tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas, termasuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Hal ini merupakan kemenangan besar bagi para petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan. Putusan MK tersebut juga menjadi penanda bagaimana pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat, terhadap kepentingan-kepentingan rakyat banyak,” paparnya.