HOLOPIS.COM, JAKARTA – Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menyampaikan terdapat tiga metode metode penyempitan ruang sipil.

“Tiga metode itu adalah tekanan-tekanan dalam bentuk fisik, yang kedua dalam bentuk digital, yang ketiga dalam bentuk hukum,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi, Senin (5/9).

Pada penyempitan ruang di ranah digital sering kali terjadi peretasan yang menyasar organisasi non pemerintah, jurnalis, media pers, mahasiswa, dan sebagainya.

“Dalam bentuk digital misalnya peretasan-peretasan yang sering kali terjadi persis kepada kelompok-kelompok masyarakat sipil,” jelasnya.

“Yang bisa kita lihat sebagai serangan digital itu tidak hanya peretasan tetapi juga doxing, kemudian tentu saja ancaman-ancaman yang diberikan melalui media sosial dan lain sebagainya, pesan-pesan langsung dan lain sebagainya,” sambung Bivitri.

Sebagai informasi, doxing merupakan tindakan yang dilakukan di ruang internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi kepada publik terhadap organisasi maupun organisasi. Metode yang biasanya digunakan adalah meretas dan rekayasa sosial.

Selanjutnya, ia mengatakan hal tersebut seharusnya sudah ditangani oleh penegak hukum karena termasuk dalam pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi.

“Pelanggaran terhadap hak asasi manusia, pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat, berekspresi, yang harusnya menjadi tugas atau menjadi kewajiban dari negara untuk melindunginya, melindungi warganya melaksanakan kebebasan itu,” tuturnya.