HOLOPIS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk tidak menganggap remeh ancaman resesi ekonomi yang terjadi pada saat ini.
“Meski struktur dan fundamental ekonomi Indonesia dikatakan jauh lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Sri Lanka, namun bukan berarti bebas ancaman resesi,” kata Kamrussamad, Sabtu (16/7).
Dia mengingatkan, krisis ekonomi yang menimpa Sri Lanka saat ini salah satunya dipicu oleh utang yang membengkak, di mana rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Sri Lanka mencapai 117 persen.
Meski rasio utang Indonesia saat ini masih dalam kondisi wajar, namun rasio tersebut kemungkinan akan meningkat apabila nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan.
“Sementara rasio utang Indonesia saat ini 38 persen terhadap PDB. Meski demikian, di tengah pelemahan nilai tukar rupiah, rasio ini bisa meningkat,” ucapnya.
Berdasarkan prediksi IMF, lanjut Kamrussamad, kondisi ekonomi global terus menuju ke arah zona merah. Bahkan berdasarkan survei Bloomberg, posisi Indonesia berada di urutan ke 15 dalam daftar negara yang terancam resesi.
“Survei Bloomberg, menempatkan Indonesia negara terancam resesi bersama Sri Lanka, New Zealand, Korea Selatan, Jepang, China, Hongkong, Australia, Taiwan, Pakistan, Malaysia, Vietnam, Thailand, Filipina, Indonesia, lalu India,” kata politikus Gerindra itu.
“Indikator ekonomi Indonesia saat ini memang lebih baik. Tapi trajectory nya mirip dengan lintasan negara-negara yang mengalami resesi,” sambungnya.
Lebih lanjut Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang masih menunjukkan kinerja positif tidak menjadi jaminan untuk terhindar dari ancaman resesi. Sebab menurutnya, pada 1996 pertumbuhan ekonomi sangat tinggi yakni sekitar 8 persen lebih tetapi pertengahan 1997 terjadi krisis.
“Saat ini, cadangan devisa kita sudah berkurang sekitar 12 miliar dolar AS sejak September 2021 dan terus berkurang dalam 4 bulan terakhir ini. Apalagi ditambah trend capital outflow akibat kenaikan suku bunga The Fed,” ujarnya.
“Belum lagi tren harga komoditas mulai menurun sekarang. Ini berpotensi mempercepat krisis valuta,” tambahnya.