D
ewasa ini, 24 tahun perjuangan reformasi Indonesia telah berjalan tuntutan Reformasi untuk membawa perubahan justru menjadi tanda tanya besar. Reformasi yang rohnya membawa cita-cita besar terkait masa depan Indonesia kearah yang lebih baik menuju demokratisasi, kemanusian, dan berkeadilan sosial-ekonomi dipertanyakan sekarang. Terdapat enam tuntutan dari gerakan reformasi, pertama penegakan supremasi hukum, kedua pemberantasan KKN, ketiga pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya, keempat amandemen konstitusi, kelima pencabutan dwifungsi ABRI, dan keenam pemberian otonomi daerah seluas-luasnya menjunjung tinggi asas desentralisasi.
Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 membuka keran-keran kebebasan yang selama ini terkurung selama 32 tahun dibawah Pemerintahan Orde Baru, iklim demokrasi yang diciptakan adalah demokrasi semu saat itu. Keran-keran kebebasan dan pembaruan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia melalui reformasi harus dihadapkan oleh sebuah realita nyata persoalan besar di mana sesungguhnya kekuasaan Orba masih ada di Indonesia, pemerintah boleh berganti, namun sosok-sosok besar seperti aktor politik di era Orba mendapatkan kekuasaan saat ini.
Pada Era Reformasi saat ini korupsi menjadi salah satu masalah besar dan kegagalan dalam mewujudkan tuntutan reformasi. Beberapa tahun belakangan ini semangat dari gerakan anti korupsi terus menggaungkan pemberantasan korupsi di Indonesia, tetapi belum terlihat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa kasus korupsi dapat segera diatasi jika melihat terjadi pelemahan fungsi dari KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.
Realita yang dihadapkan hari ini bahwa memberantas korupsi tidaklah mudah, karena korupsi telah menjadi budaya yang mengakar dalam segala level kehidupan masyarakat, maupun segala sektor pemerintahan. Terutama dalam hal ini saya akan membahas terkait kartelisasi dan korupsi dalam partai politik di Indonesia, jika melihat kilas balik Reformasi membentuk perubahan terhadap sistem kepartaian di Indonesia yang polanya berdampak sampai saat ini.
Saya menilai Partai politik memberikan dampak dan pengaruh besar terhadap sektor pemerintahan dan parlemen bagaimana partai mengamankan keuangannya yang didapat dari luar APBN dan memicu korupsi, karena itu terjadi transaksi di dalamnya untuk memudahkan dalam menjalankan proyek pemerintah.
Pada awal berjalannya semangat reformasi, politik kepartaian di Indonesia memperlihatkan dan menunjukkan sebuah fenomena yang bertolak belakang di mana partai-partai ini bersaing satu sama lain namun disisi lain menjalin kerjasama. Sejak Reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian kartel, bukti-bukti yang dikumpulkan menunjukkan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia yakni pertama hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai, kedua sikap permisif dalam membentuk koalisi, ketiga tidak adanya oposisi, keempat hasil-hasil Pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, kelima kuatnya kecenderungan partai politik untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Partai Politik memiliki kepentingan-kepentingan dalam internalnya agar dapat menjaga keberlangsungan hidup kolektif partai politik yang mengharuskan partai politik membentuk kartel. Menjadi hal menarik bahwa kepentingan bersama menjaga keberlangsungan hidup partai untuk mengamankan berbagai sumber keuangan di dalam Partai Politik, terutama berasal dari pemerintah dan pihak diluar pemerintah.
Pada hal ini perlu ditekankan dan diperjelas kembali bahwa sumber keuangan partai politik yang dimaksud bukanlah uang APBN yang dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang dengan ini partai dapatkan melalui perburuan rente (rent-seeking). Kegiatan ini dapat dilakukan dan dilaksanakan jika Partai Politik memiliki akses dalam bentuk jabatan pemerintahan dan parlemen. Dengan kata lain, jabatan menteri dan posisi di parlemen di tingkat komisi sangatlah penting dalam mewujudkan dan memelihara sumber-sumber keuangan Partai Politik. Jika satu partai politik terlibat kartel dan terikat didalamnya partai-partai lain pun akan terlibat dalam satu kesatuan kelompok.
Partai Politik tidak menjalankan nilai ideologi dan arah programatis dalam menjalankan pemerintahan melalui delegasi setiap jabatan publik seperti menteri ataupun di parlemen, tapi justru melihat itu sebagai gerbang awal yang harus dibuka untuk melakukan perburuan dan kartelisasi.
Jika dilihat lebih jauh lagi pemanfaatan jabatan publik oleh partai politik akan berdampak pada penguasaan dan mengeksploitasi berbagai sumber daya negara secara bersama-sama seperti pertambangan, perhutan dan lain-lainnya. Diperlukan sebuah persaingan antar partai politik agar meminimalisir partai berkoalisi atau melakukan kartelisasi dengan cara mengeruk sumber daya negara secara bersama-sama. Saat ini dibutuhkan persaingan yang keras dan sehat agar memunculkan oposisi yang kredibel dalam peta perang wacana.
Dalam sistem kepartaian yang terkartelisasi persaingan antar partai digantikan kolusi dan oposisi absen tidak mungkin berharap pengawasan dapat dijalankan. Melihat skandal besar kasus korupsi yang saat ini menjadi pembahasan hangat adalah kasus Korupsi Asuransi Jiwasraya, dan kasus-kasus lainnya merupakan contoh nyata dari praktik korupsi pada era Reformasi. Nyatanya reformasi saat ini tidak membawa arah perubahan bagi pemberantasan korupsi politik yang telah jauh mengakar ke dalam sistem kepartaian Indonesia diperburuk dengan kartelisasi partai politik.
Menjadi semakin menarik saat korupsi didukung oleh para elit-elit partai politik yang berkuasa saat ini untuk mengambil kesempatan mengeluarkan UU yang justru memperlemah pemberantasan korupsi dan mempermudah untuk berkongsi dengan oligarki.
Partai kartel yang terwujud di Indonesia diyakini sebagai sumber utama terjadinya korupsi politik yang melibatkan elit politik Indonesia. Tidak adanya sistem check and balance yang berkelanjutan dalam sistem pemerintahan di Indonesia akan memberikan peluang yang besar bagi terus berlakunya praktik korupsi politik di pemerintahan dan parlemen, hal ini terjadi untuk memenuhi kepentingan kelompok partai kartel akan sumber dana yang bergantung kepada negara sehingga menjadikan korupsi sebagai jalan pintasnya.
Keberlangsungan partai kartel dalam mengelola kepentingan tersebut didukung dengan adanya kesepakatan antar partai politik yang mendukung pemerintahan, hal ini dilakukan untuk memastikan wujudnya hubungan kerja sama antar partai kartel dan meminimalisir terjadinya konflik kepentingan antar kelompok partai kartel.
Pemilihan umum merupakan arena bagi Partai politik untuk bertarung dan melihat sejauh mana perilaku partai politik, melihat bahwa Pemilu dan Partai politik merupakan instrumen dari demokrasi. Persoalan dari pemilu terkait besarnya modal politik menjadi penyebab terjadinya money politik untuk mengumpulkan suara, dan mahar politik untuk kepentingan investasi di pemilu selanjutnya bagi Partai Politik.
Money politik membuat pemilu gagal menjadi instrumen dalam melahirkan pejabat publik yang berintegritas. mahar politk cenderung menjadikan momentum Pemilu sebagai pembentukan koalisi yang mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan golongan tertentu yang terlibat di dalamnya dari pada kepentingan publik.
Terjadi perubahan perspektif dan orientasi dari yang memperjuangkan ideologi menjadi pragmatis ke arah pencarian modal dan kekuasaan yang nir-subtansi dalam Pemilu. Karena terjadi celah besar dalam pemilu yang membuka ruang besar bagi para elite untuk melakukan korupsi politik.
Keberadaan partai oposisi merupakan lembaga yang inheren dalam sistem demokrasi. Para teoritisi demokrasi dengan jelas menunjukkan pentingnya peran partai politik sebagai oposisi. Lemahnya peran partai oposisi tidak terlepas dari menguatnya peran negara.
Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, Indonesia dapat mengembangkan model peran oposisi sebagaimana yang dipraktikkan di Amerika Serikat, yaitu hubungan antara partai oposisi dan pemerintah yang tidak saling berhadap-hadapan (adversarial), tetapi dapat bekerjasama atau bernegosiasi untuk kepentingan yang lebih besar. Model peran oposisi yang dijalankan pun bukan dalam bentuk “perlawanan” dengan tujuan menjatuhkan pemerintah melalui mosi tidak percaya seperti yang banyak terjadi dalam pemerintahan parlementer, tetapi dalam bentuk kontrol dan perimbangan (check and balances) dengan tujuan agar kebijakan dapat dinegosiasikan untuk kepentingan nasional dan dapat meminimalisir korupsi politik dan dapat melakukan penguatan pada pemberantasan korupsi.
Pengungkapan skandal kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merupakan bagian dari BUMN menjadi kasus korupsi politik yang besar saat ini, dalam skandal Jiwasraya, Grup Bakrie diduga juga disebut-sebut terkait dengan aliran dana Jiwasraya. Ini terkait dengan pembelian saham dua perusahaan Grup Bakrie yakni PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) dan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR).
Menariknya, dalam konteks Kartelisasi terkait kasus korupsi Jiwasraya terdapat aliran dana yang diduga digunakan untuk membiayai kampanye salah satu pasangan calon pada Pemilihan Umum 2019. Tujuh arena investigasi yang harus disentuh saat mengusut tuntas kasus korupsi Jiwasraya. Dalam hal ini masih banyak sumber daya negara yang dapat dikuras habis oleh partai-partai kartel untuk kepentingannya masing-masing, karena itu kartelisasi sangat mengancam Indonesia di masa depan.
Catatan Kritis
Kepentingan keuangan dan finansial yang bersifat kolektif adalah alasan utama dan sentral di mana partai-partai bertindak sebagai satu kelompok dan hanya loyal terhadap kepentingan kelompok yaitu partai politiknya. Kepentingan kolektif ini menjadikan partai politik melihat jabatan-jabatan publik seperti menteri dan jabatan ketua DPR maupun ketua komisi sebagai langkah awal dan gerbang utama untuk mendapatkan kesempatan untuk melakukan eksploitasi sumber daya negara, bukan untuk mengedepankan kepentingan ideologi maupun menggaungkan gerakan anti korupsi seperti tertuang dalam amanat reformasi.
Partai Politik telah mengalami ketergantungan besar terhadap sumber-sumber keuangan negara untuk memenuhi keuangan partai politik. Nyatanya hari ini Partai Kartel telah menguasai segala sektor kelembagaan negara antara lain legislative, eksekutif, maupun yudikatif. Persoalan besar di mana kerja sama antar partai kartel ini telah membuka peluang yang besar bagi praktik korupsi dalam skala besar, elit-elit dalam partai politik tidak mempertimbangkan hukum karena bagi elit ini hukum dapat dikhianati bahkan jika hukum mengganggu kelancarannya akan ada 1001 cara untuk menghentikannya seperti menerbitkan UU Nomor 19 Tahun 2019.