Berita Holopis JAKARTA, HOLOPIS.COM – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan Anwar Usman mundur dari posisinya sebagai Ketua MK sehabis masa jabatannya dinilai sangat politis dan mementingkan kepentingan masing-masing hakim konstitusi.

Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda, yang juga penggugat UU MK itu mempertanyakan jiwa kenegarawanan para hakim konstitusi

“Terlihat, arah yang dikehendaki mayoritas hakim konstitusi adalah mengubah konfigurasi Ketua dan Wakil Ketua MK. Pada 9 (sembilan) bulan ke depan, publik akan menyaksikan mayoritas hakim konstitusi berpolitik untuk memperebutkan posisi ini,” kata Violla dalam siaran pers, Selasa (21/6).

UU MK yang diuji terkait perpanjangan periode hakim konstitusi, dari 5 tahun menjadi 15 tahun atau pensiun di usia 70 tahun. MK memutuskan tidak mempermasalahkan perpanjangan jabatan itu.

“Putusan ini memperlihatkan wajah MK yang sesungguhnya, bagaimana mayoritas hakim menyambut perpanjangan masa jabatan. Kursi mayoritas hakim MK diisi oleh pihak-pihak yang kenegarawanannya dipertanyakan dan terlihat jelas memiliki konflik kepentingan atas UU a quo,” beber Violla Reininda.

Violla merupakan pemohon yang mewakili KoDe Inisiatif. Bergabung dengan pemohon yaitu BHACA, ELSAM, LBH Jakarta, ICW, YLBHI, PSHK, dan PUSaKO FH UNAND. Mereka bergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi.

“Para hakim MK mempertahankan ketentuan yang memperpanjang masa jabatan mereka. Kedua, masing-masing hakim atau bahkan kelompok hakim MK memilih persoalan yang dipertimbangkan sesuai dengan kadar kepentingan yang hendak dicapai. Jika MK memiliki semangat untuk menghindari konflik kepentingan dan menegakkan supremasi konstitusi serta marwah kekuasaan kehakiman, setidak-tidaknya perpanjangan masa jabatan diberlakukan bagi para hakim pada periode berikutnya,” beber Violla.

Koalisi menilai MK inkonsisten, formalistik, dan tidak kontekstual dalam memeriksa dan memutus perkara. MK tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai the guardian of the constitution (penjaga konstitusi), melainkan the guardian of its own interest (penjaga kepentingannya sendiri).

“MK tidak lagi menggaungkan meaningful participation dalam putusannya dan gagal melihat konteks kondisi pembentukan Revisi UU MK,” tukas Violla.

Hal ini terlihat misalnya pada aspek perencanaan UU, pembentuk UU yg beralasan ‘menindaklanjuti putusan MK melalui daftar kumulatif terbuka’ pada tahap perencanaan hanya dalih semata. Norma inti dari revisi ini bahkan bukan merupakan perintah perubahan dari MK dalam putusan-putusan sebelumnya.

“Belum lagi, proses yang sangat tergesa-gesa hanya memerlukan 3 (tiga) hari pembahasan pada rapat tertutup,” ungkap Violla.

MK sengaja menutup mata terhadap fakta ini dan menganggap hal tersebut wajar. Ke depan, pembentukan UU dapat saja menggunakan dalih ‘perencanaan melalui daftar kumulatif terbuka untuk menindaklanjuti putusan MK’ guna menutup kanal partisipasi publik, transparansi, dan akuntabilitas pembentukan UU.

“Terlihat, arah yang dikehendaki mayoritas hakim konstitusi adalah mengubah konfigurasi Ketua dan Wakil Ketua MK. Pada 9 (sembilan) bulan ke depan, publik akan menyaksikan mayoritas hakim konstitusi berpolitik untuk memperebutkan posisi ini,” pungkas Violla.

Dalam putusan tersebut, satu-satunya hakim konstitusi yang meminta UU Nomor 7/2020 hanyalah Arief Hidayat. Menurut Arief Hidayat penyusunan UU 7/2020 menyalahi syarat formil pembuatan UU sehingga cacat formil. Namun suara Arief Hidayat kalah dengan 8 hakim konstitusi lainnya.