I
ndonesia mendapat berkah dari kenaikan harga komoditas. Sri Mulyani menyebutnya ‘durian runtuh’. Artinya, ketiban rejeki. Masuk akal. Karena, kalau harga komoditas tidak naik, ekonomi dan keuangan negara mungkin sudah tergelincir.
Kenaikan harga komoditas membuat penerimaan negara naik tajam, naik 46 persen selama Januari – April 2022, dibandingkan periode sama tahun lalu. Neraca perdagangan mencatat rekor surplus, defisit neraca transaksi berjalan menyusut tajam.
Di lain sisi, kenaikan harga komoditas membuat harga pangan dan bahan bakar juga melonjak tajam. Inflasi global meningkat. Masyarakat Indonesia kelompok menengah bawah tertekan, daya beli tergerus. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah seyogyanya membantu meringankan beban hidup masyarakat dengan memberi subsidi.
Tapi faktanya, mayoritas kenaikan harga dibebankan kepada masyarakat. Harga pangan naik tajam. Harga minyak goreng juga meroket, padahal Indonesia produsen sawit terbesar dunia. Bagaimana dengan tarif listrik, atau harga pertalite, apakah akan naik juga?
Inflasi menjadi momok ekonomi dunia, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Menekan daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi itu, bank sentral negara maju menaikkan suku bunga. The Fed, bank sentral AS, sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen pada Maret lalu dan 0,5 persen pada bulan lalu. The Fed masih akan menaikkan suku bunga sekitar 5 kali lagi dalam tahun ini.
Bagaimana hasil koreksi kebijakan moneter ini, dan dampaknya terhadap Indonesia? Ada dua kemungkinan, sebagai berikut.
Pertama, kalau koreksi kebijakan moneter tersebut tidak berhasil seperti yang diharapkan, artinya suku bunga naik tapi inflasi tidak turun, kemungkinan kondisi stagflasi bisa terjadi lagi, yaitu ekonomi akan stagnasi atau bahkan resesi dengan tingkat inflasi tinggi. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila the Fed terlambat, dan terlalu rendah, menaikkan suku bunga acuannya. Kondisi saat ini sepertinya memang terlambat dan terlalu rendah. Maka itu, inflasi belum terlihat turun.
Dampaknya terhadap Indonesia sangat mengkhawatirkan. Daya beli masyarakat terus melemah. Kalau berlangsung cukup lama, dan pemerintah tidak kasih subsidi, maka kondisi ini bisa memicu protes dan demo, bisa memicu keresahan sosial.
Selain itu kenaikan suku bunga global akan diikuti dengan kenaikan suku bunga Bank Indonesia. Pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi, mungkin diikuti PHK, membuat kondisi sosial memburuk.
Kemungkinan kedua, kenaikan suku bunga cukup tinggi berhasil menekan harga komoditas. Kenaikan suku bunga yang tinggi akan menekan ekonomi global, dan kontraksi.
Dampaknya terhadap Indonesia juga buruk. Penerimaan negara akan anjlok. Ini yang disebut Sri Mulyani ‘durian runtuh’ segera berakhir. Kondisi ini memicu krisis belanja negara, terutama tahun 2023 defisit anggaran kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB. Ditambah kenaikan suku bunga, investasi akan turun, konsumsi masyarakat akan turun, permintaan global juga tertekan. Ekonomi akan stres.
Selain itu, neraca perdagangan dan transaksi berjalan memburuk, kenaikan suku bunga membuat investor menarik dolar keluar negeri, kurs rupiah tertekan, bisa-bisa tergelincir.
Dengan kata lain, apapun hasil dari kebijakan koreksi moneter global, ekonomi Indonesia semester II 2022 dan 2023 tidak aman, tidak baik-baik saja, siap tergelincir.