Pemilu 2024 : Pembuktian Integritas Penyelenggara dan Keseriusan Pemerintah

Pemilu 2024 akan menjadi salah satu pesta demokrasi paling meriah sekaligus paling rumit di dunia. Bagaimana tidak, pemilu dan pilkada akan digelar secara serentak di tahun yang sama. Pemilih tidak hanya dihadapkan pada lima surat suara seperti pemilu 2019, namun juga akan ditambah surat suara pada pilkada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota.

Sebelum itu, perlu dipahami bahwa keserentakan antara pemilu dan pilkada di tahun 2024 tidak dilaksanakan pada hari yang sama, namun titik beratnya adalah pada pelaksanaanya yang berbarengan di tahun yang sama. Jadi, konsep keserentakan tersebut tidak boleh menimbulkan kesalahpahaman di masyatakat bahwa pemilu dan pilkada akan dilaksanakan pada hari yang sama.

Sebenarnya, model pemilu serentak sudah pernah kita laksanakan pada tahun 2019, di mana kita sebagai pemilih mencoblos lima jenis surat suara sekaligus yaitu warna abu – abu untuk memilih presiden dan wakil presiden, warna kuning untuk anggota DPR RI, warna merah untuk anggota DPD RI, warna hijau untuk anggota DPRD Provinsi, dan warna biru untuk anggota DPRD Kabupaten atau Kota. Penyelenggaraan secara serentak seperti ini memang lebih efisien dari sisi anggaran dan waktu, namun di sisi lain pemilu secara serentak memberi implikasi pada beratnya beban yang dipikul oleh penyelenggara pemilu terutama para petugas KPPS yang berada di TPS desa – desa sebagai ujung tombak pelaksanaan pemilu. Mereka harus bekerja ekstra keras dari tahap pendataan pemilih hingga penghitungan suara agar semua tahapan tersebut berjalan dengan lancar.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu mempunyai peran vital. KPU merupakan badan independen sebagai penyelenggara yang mengatur mekanisme pelaksanaan pemilu mulai dari penetapan pemilih, pendaftaran calon, hingga penetapan calon terpilih. Oleh karena itu, para komisionernya dituntut mempunyai pengetahuan luas dan integritas yang tinggi agar pemilu dapat berjalan dengan baik.

Pemilu tahun 2024 menyisakan berbagai pekerjaan rumah bagi pemerintah, dituntut dengan penyelenggaran yang berintegritas, meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu pada pemilu sebelumnya juga perlu menjadi catatan.

Kita tentu masih ingat bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 merenggut sebanyak 895 nyawa KPPS, serta 5.175 lainnya tercatat sakit seteleh penyelenggaraan pemilu. Kejadian tersebut tentu tidak boleh terulang kembali, karena pemilu merupakan pesta demokrasi rakyat yang seharusnya membawa kebahagiaan, karena rakyat memilih pemimpinnya secara langsung sesuai kehendaknya tanpa adanya paksaan dari siapapun.

Nama – nama komisioner KPU masa jabatan 2017 – 2022 telah disetujui oleh Komisi II DPR RI setelah melewati rangkaian fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan. Sebelumnya, presiden melalui Kementerian Dalam Negeri telah mengumumkan pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Calon Anggota KPU dan Bawaslu yang disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 120/P tahun 2021. Anggota Pansel tersebut terdiri dari berbagai macam latar belakang, mulai dari deputi Kantor Staf Kepresidenan, mantan wakil ketua KPK, Dirjen Otonomi Daerah, Wakil Menteri Hukum dan HAM, mantan Hakim MK, aktivis anti korupsi, akademisi, dan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjanjikan kepada masyarakat bahwa Pansel akan bekerja secara independen dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik dari pihak manapun untuk melahirkan para komisioner KPU dan anggota Bawaslu yang bersih dan berintegritas sehingga mampu menjaga marwah pemilu yang luber dan jurdil.

Akhirnya, seteleh melalui proses yang panjang dengan berbagai intrik yang ada di dalamnya, nama – nama komisioner KPU dan anggota Bawaslu telah diumumkan oleh Komisi II. Menariknya, sebagian nama – nama tersebut sama persis dengan pesan berantai yang tersebar di whatsapp yang disebarkan oleh salah satu informan. Meskipun telah dinyatakan hoaks oleh anggota Komisi II, namun nyatanya banyak nama – nama tersebut yang sama persis. Dari ketujuh nama yang lolos, hanya ada satu petahanan yang terpilih kembali yaitu Hasyim Asyari yang menjabat pada periode 2017 – 2022. Selain itu, ketujuh nama komisioner KPU 2022 – 2027 didominasi oleh para komisioner KPUD dari berbagai daerah seperti Betty Epsilon Idroos dari KPUD DKI Jakarta, Yulianto Sudrajat dari KPUD Jawa Tengah, Parsadaan Harahap dari KPUD Bengkulu, dan Idham Holid dari KPUD Jawa Barat. Dua nama lainnya yaitu Mochammad Afifudin dan August Melasz, keduanya merupakan aktivis dari kelembagaan pemilu yang telah membantu pemerintah dalam memberi kajian kepemiluan kepada masyarakat. Melalui berbagai pengalamannya di dunia kepemiluan yang rata – rata dimulai dari KPU Kabupaten atau Kota, serta ditambah pengalaman dari seorang petahana dan aktivis kepemulian, diharapkan pelaksanaan pemilu 2024 dapat berjalan dengan lancar sesuai mekanisme yang telah ditetapkan.

Tidak berbeda jauh dengan komisioner KPU yang dapat dikatakan telah berpengalaman di bidang kepemiluan, anggota Bawaslu yang telah diumumkan juga mayoritas telah berada dalam bidang pengawasan sebelum dipilih sebagai anggota. Misalnya Totok Haryanto, ia merupakan anggota Bawaslu Jawa Timur, Loly Suhenty dari Bawaslu Jawa Barat, Herwyn Malonda dari Bawaslu Sulawesi Utara, Puadi dari Bawaslu DKI Jakarta, dan Rahmat Bagja sebagai petahana. Pengalaman yang telah diperoleh menjadi harapan untuk menekan pelanggaran pemilu yang massif ditemui ketika menjelang pemungutan suara seperti money politic dan black campaign, karena kedua perbuatan tersebut sangat mengganggu kestabilan pelaksanaan pemilu yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik di masyarakat.

Para komisioner KPU dan anggota Bawaslu juga dituntut untuk memiliki integritas setinggi – tingginya karena tidak dapat dipungkiri bahwa dunia kepemiluan merupakan dunia yang rawan terhadap perbuatan rasuah yang dapat merugikan masyarakat. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana salah satu komisioner KPU yaitu Wahyu Setiawan tertangkap basah oleh KPK menerima suap pergantian antar waktu anggota DPR dari fraksi PDIP. Wahyu didakwa menerima uang sebanyak 15 ribu SGD dan 500 juta rupiah sebagai dana operasional. Pengadilan memvonis Wahyu dengan enam tahun kurungan penjara dan 150 juta rupiah subsider kurungan empat bulan. Kasus tersebut tentu mencederai hati masyarakat Indonesia. KPU sebagai lembaga independan yang tidak terpengaruh oleh tekanan dari siapapun seharusnya menjaga marwah pemilu agar terlaksana secara luber dan jurdil malah menjadi ladang korupsi yang subur bagi para komisionernya.

Selain Wahyu, tercatat ada empat komisioner KPU lainnya yang terlibat kasus suap dan korupsi. Keempat komisioner tersebut adalah Nazaruddin Syamsuddin, Mulyana Kusumah, Daan Dimara, dan Rusadi Kantraprawira. Kasus yang menjerat mereka bervariasi mulai dari korupsi asuransi petugas Pemilu, menyuap auditor BPK, korupsi pengadaan kotak suara, korupsi pengadaan segel kotak suara, hingga korupsi pengadaan tinta. Perbuatan tersebut tentu sangat melukai hati masyarakat sebagai penikmat pesta demokrasi.

Berbagai kasus di atas telah membuktikan bahwa dunia pemilu merupakan dunia yang seksi karena terdapat berbagai godaan terutama korupsi dan suap yang mengintai para penyelenggaranya. Untuk menghadapi kompleksnya pemilu serentak tahun 2024, negeri ini membutuhkan penyelenggara pemilu baik untuk KPU maupun Bawaslu yang memiliki integritas di atas rata – rata. Proses seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu telah final dengan ditetapkannya tujuh komisioner KPU dan lima anggota Bawaslu bukan menjadi akhir, namun sebagai titik tolak kesuksesan pemilu 2024. Salah satu masalah dasar penyelenggaraan pemilu di Indonesia adalah ketidaknetralan para petugas dalam proses pemilu, terutama di badan yang bersifat adhoc atau sementara seperti PPK, PPS, dan KPPS sehingga mereka sering terlibat jual beli suara maupun manipuasli proses hitung suara yang sangat sulit dideteksi secara total dalam skala nasional. Tidak menutup kemungkinan juga para penyelenggara pemilu 2024 nanti utamanya di tingkat kabupaten atau kota, provinsi, hingga pusat terlibat perilaku curang tersebut.

Pemilu tahun 2024 menyisakan berbagai pekerjaan rumah bagi pemerintah, dituntut dengan penyelenggaran yang berintegritas, meninggalnya ratusan penyelenggara pemilu pada pemilu sebelumnya juga perlu menjadi catatan. Terjadinya kecurangan di berbagai daerah terutama politik uang dan kampanye gelap yang seringkali berujung kepada aksi rasial sudah bervariasi modusnya serta penyelesaian sengketa hasil pemilu memakan waktu lama. Partai politik kelimpungan kesana ke mari mencari calon terbaik agar menang. Seringkali partai politik tersebut menghalakkan berbagai cara dan para calon tersebut bermental siap menang namun tidak siap kalah, hal tersebut beralasan karena ongkos politik yang tinggi untuk menang pemilu. Kenteralan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga perlu dijaga, jangan sampai para ASN dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu sehingga netralitasnya bermasalah. Ujungnya, masyarakat yang dirugikan karena pelayanan publiknya terganggu.

Pada akhirnya, siapapun yang terpilih menjadi komisioner KPU dan Bawaslu, mereka harus mampu bekerja secara totalitas, karena apabila penyelenggara pemilu tidak dijaga dengan ditamengi oleh integritas, pesta demokrasi 2024 berisiko gagal dan menyebabkan rasa muak pada masyarakat sehingga menyisakan berbagai masalah seperti pelaksanaan pemilu sebelumnya. Lima surat suara ditambah dua surat suara Pilkada bukan jumlah yang sedikit. Jika penyelenggaranya tidak netral, masyarakat bisa saja merasa lelah dan muak dengan berbagai kebohongan dan kepalsuan yang dipertontonkan kontestan. Pada akhirnya, krisis politik akan terjadi dan berimbas pada carut marutnya perekonomian nasional. Jika sudah seperti ini siapa yang paling terkena dampaknya? Tentu saja masyarakat.

Temukan kami di Google News, dan jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.

Berita Lainnya

Presiden Republik Indonesia

BERITA TERBARU

Viral