Arif menuturkan, hal serupa juga pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat mengingatkan para menterinya agar fokus bekerja untuk pemerintah, bukan untuk partai politik.
Jokowi pun, kata Arif, pernah melakukan hal serupa. Padahal, ekspresi kemarahan itu tak membawa pengaruh signifikan terhadap perbaikan kinerja pemerintah. Sebab, pada prinsipnya, perbaikan kinerja hanya bisa dilakukan dengan kinerja optimal.
“Jadi kemarahan Presiden pada menterinya di hadapan publik, itu sebenarnya memberi kita jebakan politik simbolisme. Seolah-olah marah itu berarti bekerja, dan ini satu pretensi buruk dalam politik nasional,” katanya.
Arif melanjutkan, politik semacam itu kini sudah banyak dilakoni para pemimpin-pemimpin di tingkat daerah. Selain Ahok dan Risma yang telah melakukannya lebih dulu, ada pula Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang sempat marah di tengah jalan yang digenangi air saat hujan beberapa waktu lalu.
“Sesuatu yang tidak mengubah keadaan secara esensial, karena banjir mestinya diselesaikan lewat kebijakan,” katanya.