Saat itu ia menganalisis dan menyampaikan pendapat tentang aspek etika Brainwashing DSA di bidang neurologi disebut sebagai cerebral angiography, digunakan untuk diagnosis gangguan pembuluh darah otak (stroke iskemik), di mana di RS tipe A. DSA bukan merupakan hal yang baru, tetapi sudah rutin dilaksanakan untuk sarana diagnostik bukan diperuntukkan sebagai sarana terapi pengobatan, apalagi untuk prevensi atau pencegahan stroke.
Kenyataannya, kata ahli, promosi BW luar biasa gencar di semua media sosial, media massa, elektronik dan lain-lain, sehingga di masyarakat timbul anggapan cuci otak atau BW merupakan cara baru yang patut dicoba terutama bagi penderita stroke. Saksi ahli melaporkan bahwa Dokter Terawan melakukan BW pada seorang pasien stroke perdarahan di mana pemberian heparin merupakan kontraindikasi dan kondisi pasien tidak membaik.
Metode cuci otak dinilai tidak memiliki bukti ilmiah. Prosedur BW untuk terapi dianggap melanggar aspek etik kedokteran.
Ahli menganalisis penelitian terapi BW dari dua artikel jurnal yakni Analisis dilakukan dari tiga aspek yaitu praktik kedokteran, scientific evidence dan Health Technology Assessment Mengenai tindakan praktik kedokteran Dokter Terawan dipertanyakan apakah sudah ada Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) dan Pedoman Praktik Klinik (PPK) untuk RS bagi pengobatan stroke Tentang Scientific Evidence terkesan factual, artikel Dokter dalam Bali Medical Journal dan Indonesian Biomedical Journal, tidak disunting dengan baik serta ditulis dalam jurnal terakreditasi B, menurut klasifikasi Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI) mengenai kualitas laporan, kriteria Consolidated Standard of Reporting Trials (CONSORT) tahun 2015, dinilai poor (di bawah 13), dan dari validitas studi secara metodologi dianggap cacat dengan memperhatikan aspek desain penelitian, besar sampel, cara pengambilan sampel, dan penulisan tidak memahami prinsip randomized control trial (RCT) khususnya randomisasi. Penelitian tersebut bukan true experimental namun pre-experimental study, yang sangat terancam bias karena tidak blinded (tersamar).
Ahli menilai penelitian Dokter Terawan terkait clinical biomarker yang tidak dapat digunakan sebagai terapi/pengobatan pada pasien stroke. Oleh karena itu Prof. Dr. Teguh AS Ranakusuma, Sp.S(K) meminta kepada Dokter Terawan agar judul disertasinya yang semula menggunakan istilah BW diubah menjadi intra- arterial heparin flushing (IAHF). Bahwa tindakan diagnostik ini dapat menimbulkan efek samping berupa perdarahan mikro (micro hemorrhage) atau transitional hemorrhage yang tidak tampak dengan pencitraan radiologis. Bahwa standar pengobatan stroke iskemik sudah ada yaitu untuk stroke akut dengan trombolisis dan thrombolectomy dengan syarat tertentu.
2018, Terawan Dipecat Sementara
Berdasarkan keterangan para aksi ahli yang dihadirkan MKEK dan sikap dari Terawan Agus Putranto tersebut, kemudian keluarlah surat rekomendasi MKEK perwakilan IDI DKI Jakarta dengan nomor surat ; No. 290/IDI/Wil JKT/IX/2016.
Siapa sih yang tidak tahu dengan film asal Inggris berjudul Love Actually, yang biasanya ditonton…
Sekertaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani menanggapi pro dan kontra kenaikan PPN 12% yang justru…
Jika biasanya Natal identik dengan berbagai persiapan untuk dekorasi pohon natal atau rumah, Hari Raya…
Di musim hujan yang saat ini sedang melanda Indonesia memang paling nikmat jika diiringi dengan…
Media sosial Twitter saat ini sedang dihebohkan cuplikan yang menunjukkan sekumpulan orang tua menduga bahwa…
Dunia perfilman Hollywood saat ini sedang dihebohkan dengan skandal yang melibatkan dua nama besar yaitu…