S
ebelum lebih jauh mencermati catatan sedeehana ini, saya hendak mengajak Anda seraya bersama melafazkan, “Innalillahi wa innaa ilayhi raaji’un”. Saya sangat kaget dan merasa sedih, pun turut prihatin, ketika membuka sebuah link berita, lantas membacanya bait demi bait, sampai berhenti pada sepotong kalimat tentang: “Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang masuk dalam kategori wilayah miskin ekstrim”.
Saya pun berfikir, bahwa hal demikian bisa terjadi lantaran salah kelola pemerintahan oleh para penguasanya yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Bupati dan Wakil Bupatinya. Padahal, mestinya para elit pemerintahan Kabupaten SBT tersebut justeru menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya, bukan malah sebaliknya.
Dalam perjalanan kehidupan umat manusia, tidak sedikit contoh penguasa yang hobinya dilayani oleh rakyat. Bahkan cenderung tidak tanggung-tanggung secara terang-terangan menyakiti dan memperdaya rakyatnya itu sendiri. Akan tetapi, sepanjang sejarah kekuasaan yang pernah eksis di muka bumi ini, semua penguasa despotik, tanpa terkecuali, cepat atau lambat akan tumbang dari tampuk kekuasaannya dengan berbagai cara dan sebab. Tentu hal demikian merupakan sesuatu yang taken for granted atau yang menjadi kehendak alam (sunnatullah).
Lalu, siapakah penduduk miskin ekstrim yang dimaksud dan siapakah mereka yak bukan merupakan bagian dari penduduk miskin?.
Pada tahun 2021, penduduk di Indonesia masuk ke dalam kelompok miskin ekstrim sebanyak 4%, sedangkan penduduk miskin sebanyak 10,14 persen. Penduduk miskin ekstrim di Indonesia mayoritas berstatus bekerja. Mengapa demikian? Karena jika tidak bekerja, maka tidak bisa makan. Oleh sebabnya, mereka tetap harus bekerja meskipun dengan pendapatan yang diterima atau dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya.
Jika dirupiahkan, rata-rata pada tahun 2021, garis kemiskinan ekstrim sebesar Rp 11.941,1 per kapita per hari. Secara kasar dapat dikatakan bahwa ketika pengeluaran penduduk di bawah Rp 11.941,1 per kapita per hari, maka penduduk tersebut dikatakan penduduk miskin ekstrim. Namun perlu diperhatikan bahwa angka tersebut merupakan angka rata-rata per kapita untuk semua kelompok umur yaitu: bayi, balita, anak-anak, dewasa, dan lansia di mana mereka memiliki pola konsumsi yang berbeda-beda.
Sementara mengenai persoalan Kabupaten SBT tersebut, tetiba saja muncul pertanyaan dalam benak: Kok bisa Kabupaten SBT dikategorikan miskin ekstrim? Padahal, jika diperhatikan secara presisi, Kabupaten SBT merupakan satu di antara Kabupaten di Maluku yang memiliki resources yang memadai, baik manusia maupun alamnya. Kenyataan ini tentu menjadi kontras ketika disandingkan dengan predikat miskin ekstrim yang disematkan padanya.
Pertanyaan tersebut pun tak elak terus membayang-bayangi benak saya dan cukup mengganggu. Saya lantas merajut premis-premis membentuk sebuah kesimpulan, bahwa yang memiliki kemampuan secara otoritatif menjawab pertanyaan ini hanya para pemangku dan/atau pengambil kebijakan (baca: terutama Bupati dan Wakil Bupati) di Kabupaten SBT itu sendiri.
Pertanyaan saya selanjutnya adalah Kabupaten SBT yang masuk ke dalam kategori miskin ekstrim tersebut, apakah para pemimpinnya bisa disebut durhaka? Jika kita menggunakan pendekatan agama, maka ketentuan demikian bersifat mengikat dan berlaku. Pemimpin durhaka dalam konteks ini adalah pemimpin yang memanfaatkan wewenang, otoritas atau jabatannya untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Mereka sibuk melakukan praktik politik ‘dagang sapi’ untuk melanggengkan kekuasaannya. Tak pelak sumber modal kekuasaan tersebut pun diperoleh melalui praktik korupsi yang kerap dilakukan secara berjamaah.
Sementara itu, rakyat yang mereka pimpin hanya dijadikan objek untuk meraih keuntungan politik, ekonomi serta ruang hidup lainnya sebesar-besarnya. Rakyat hanya dijadikan simbol untuk melegitimasi perilaku begundal mereka. Akibatnya, kehidupan rakyat jauh panggang dari api perihal pemenuhan kesejahteraan yang sedianya telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Saya juga hendak sekadar mengingatkan bahwa bicara soal korupsi dan memperkaya diri sendiri, tentu menjadi ranah penegak hukum dan penilaian objektif dari seluruh rakyat Kabupaten SBT. Fokus saya pada pembahasan kali ini justru terpaut pada wacana seputar: miskin ekstrim.
Saya hendak menyudahi catatan ini dengan menghadirkan semacam input atau pendapat pribadi saya perihal perbaikan tata kelola kekuasaan yang adil, akomodatif serta bertanggung jawab. Menurut hemat saya, perlu adanya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan ekstrim. Dimulai dari rancang bangun serta political will dari pemerintah itu sendiri. Sebab lagi-lagi sinergitas dalam istilah lumrahnya: gotong royong itu sangatlah diperlukan. Sebab kompleksitas budaya dan karakter penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan itu sudah barang tentu membutuhkan sentuhan sosial dan pembinaan mental agar mereka dapat mandiri dengan kreasi dan inovasi yang mumpuni pada banyak sektor kehidupan.
Semoga!