Pedagang dan Masyarakat Keluhkan Distribusi dan Kelangkaan Minyak Goreng di Pasaran
Sejumlah pedagang di Pasar Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan (17/2), mengeluhkan langkanya pasokan minyak goreng dalam kemasan. Kelangkaan ini terjadi sejak pemerintah menetapkan harga minyak goreng kemasan yakni 14 ribu rupiah/liter.
“Kondisi minyak sedang sulit didapat sudah hampir satu minggu,” ujar salah satu pedagang di pasar pondok labu kepada Holopis.com, (17/2).
“Pas minyak mengalami kenaikan mencapai kurang lebih 40rb rata-rata perliter,” tambahnya.
Pedagang pasar mengaku mendapat pasokan minyak goreng kemasan dari distributor terbatas yakni maksimal 2 karton dalam setiap dua minggu sekali pengiriman.
Sementara dua karton tersebut habis terjual dalam waktu 1 hingga 2 hari oleh pedagang pasar. Untuk mensiasati banyaknya permintaan migor dari pembeli, pedagang pasar terpaksa mengambil stok di luar distributor resmi dengan harga yang lebih mahal.
Para pedagang pasar berharap kelangkaan pasokan minyak goreng dapat segera diatasi oleh pemerintah, kondisi dapat segera pulih, minyak goreng harga standar dan ketersedian stok normal, lancar dan aman terlebih menjelang hari raya.
“Harapannya ya minyak supaya lebih murah dan biar digampangin distribusinya. Kasian pedagang-pedagang,” tutupnya.
Sementara itu, salah seorang ibu rumah tangga mengeluhkan stok minyak goreng yang langkah di pasar tradisional dan juga ritel modern seperti supermarket. Ditambah, para pelaku UMKM juga mengaku kesulitan mendapatkan minyak goreng di pasar-pasar.
“Baru ini merasakan minyak goreng susah di cari, kalau ada harganya juga kadang dipasar tidak sesuai dengan yang pemerintah tetapkan,” ujar salah seorang ibu rumah tangga, Susan kepada Holopis.com.
“Kita Para Pelaku UMKM merasa sulit untuk mendapatkan minyak, sedangkan kita harus dagang, dengan menggunakan minyak goreng sebagai salah satu bahan utama dalam berjualan, “ ujar salah satu pelaku UMKM, Agus kepada Holopis.com.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengendus ada praktik kartel dalam urusan harga minyak goreng yang melambung di tanah air. Alasannya, Indonesia sebagai produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia tak mampu menstabilkan harga minyak goreng di harga wajar.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, jika indonesia sebagai produsen terbesar CPO, seharusnya harga minyak goreng tak akan melambung tinggi di pasaran domestic. Kemudian, ia pun menduga peningkatan demand di periode Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 (Nataru) bukan penyebab kenaikan harga yang belum kunjung menurun.
“Sejak awal saya menduga bahwa ini bukan efek nataru, karena kalau efek nataru tentu kenaikannya tidak gila-gilaan atau diluar batas kewajaran. Oleh karena itu ini ada dugaan kartel atau praktik usaha persaingan tidak sehat lainnya. Sehingga sangat mendistorsi pasar baik dari segi harga atau pasokan,” katanya (14/1).
Dengan begitu, ia meragukan upaya pemerintah yang mengguyur subsidi Rp 3,6 triliun untuk menurunkan harga minyak goreng tak akan menyelesaikan masalah. Justru malah akan membuang-buang anggaran.
“Karena sebenarnya penyakit intinya bukan soal itu saja, tapi harusnya pemerintah mengendus dan membongkar adanya dugaan kartel terhadap bisnis CPO dan minyak goreng di indonesia,” kata Tulus.
Tulus menerangkan guna menyendalikan harga minyak goreng pemerintah tak hanya menggunakan instrumen subsidi. Ia menekankan pemerintah mulai mengejar kemungkinan terjadi praktik bisnis yang menyimpang.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga tengah mengusut dugaan praktik kartel di balik mahalnya harga minyak goreng.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu harga minyak goreng melonjak hingga Rp20.00 per liter.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur mengatakan, pihaknya telah melimpahkan kasus dugaan praktik kartel di komoditas minyak goreng ke ranah hukum di KPPU.
“Berdasarkan berbagai temuan saat ini, Komisi memutuskan bahwa permasalahan minyak goreng dilanjutkan ke ranah penegakan hukum di KPPU,” ujarnya, Minggu (30/1).
Deswin menerangkan, dalam proses penegakan hukum, fokus awal akan diberikan pada pendalaman berbagai bentuk perilaku yang berpotensi melanggar pasal-pasal tertentu di undang-undang.
“Berbagai fakta kelangkaan, potensi penimbunan atau sinyal-sinyal harga atau perilaku di pasar akan menjadi bagian dari pendalaman. Serta turut mengidentifikasi potensi terlapor dalam permasalahan tersebut,” tutupnya.