JAKARTA, HOLOPIS.COM – Ketua bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhammad Cholil Nafis tak habis pikir dengan lisan Yaqut Cholil Qoumas.
Di mana Menteri Agama Republik Indonesia itu menggunakan diksi “Anjing” sebagai bahan perbandingan suara-suara toa masjid dan musholla yang dianggapnya bisa menimbulkan kebisingan dan mengganggu umat agama lain.
“Ya Allah… ya Allah .. ya Allah. Kadang malas berkomentar soal membandingkan sesuatu yang suci dan baik dengan suara hewan najis mughallazhah,” kata kiai Cholil, (23/2) malam.
Menurutnya, apa yang dilontarkan oleh adik kandung Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf itu menganulir etika komunikasi pejabat publik yang arif dan bijaksana.
“Karena itu bukan soal kinerja, tapi soal kepantasan di ruang publik oleh pejabat publik,” ujarnya.
Ia pun berdoa agar seluruh bangsa Indonesia dijauhkan dari bala Tuhan Yang Maha Esa.
“Mudah-mudahan Allah mengampuni dan melindungi kita semua,” pungkasnya.
Sebelumnya, Gus Yaqut (panggilan akrab Yaqut Cholil Qoumas) memberikan penjelasan mengapa pihaknya perlu mengatur intensitas penggunaan toa masjid dan musholla agar tidak malah menimbulkan kebisingan.
“Tetangga depan belakang pelihara anjing semua, misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak?,” kata Gus Yaqut.
Suara-suara gonggongan anjing itu dijadikan perumpamaan bagaimana suara-suara yang berisik tersebut sangat berpotensi mengganggu masyarakat sekitar, termasuk salah satunya adalah toa masjid dan musholla yang digunakan tidak dalam kapasitas semestinya, seperti adzan.
“Artinya, bahwa suara-suara apapun suara itu ya ini harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan,” ujarnya.
Ketua Umum GP Ansor itu menegaskan bahwa pemerintah tidak sedang melarang penggunaan toa masjid dan musholla, akan tetapi memohon kepada masyarakat khususnya para pengelola sarana tempat ibadah itu bisa mengatur betul operasional penggunaan sarana dan prasarana masjid dan musholla itu.
“Spekaer di musholla, di masjid, monggo dipakai, silakan, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu, agar niat menggunakan toa, menggunakan speaker sebagai sarana, sebagai washilah untuk syiar melakukan tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengganggu mereka yang mungkin tidak sama dengan keyakinan kita,” tutur Gus Yaqut.
“Berbeda keyakinan tetap harus kita hargai,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, bahwa pengaturan toa atau alat pengeras suara di masjid dan musholla saat ini telah diatur oleh pemerintah pusat. Aturan itu dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri Agama Republik Indonesia yang mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.