JAKARTA, HOLOPIS.COM – Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Riden Hatam Aziz menilai, bahwa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang menjadi program pemerintah justru menunjukkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia sangat mudah terjadi.
“JKP ini saya mengatakan bahwa pengakuan pemerintah terhadap mudahnya pengusaha mem-PHK. Bahwa karyawan tetap pun kapanpun, dengan ada atau tidaknya alasan pun pengusaha bisa mem-PHK,” kata Riden dalam talkshow Ruang Tamu Holopis Channel, Jumat (18/2).
Memang diakui Riden, program JKP efektif dijalankan pemerintah per tanggal 1 Februari 2022 ini. Akan tetapi ada yang menjadi soal di dalam program tersebut. Riden menyebut, bahwa pemerintah menggunakan uang buruh di dalam menjalankan program itu.
Dimana kata Riden, dari sisi konstruksi anggarannya, JKP hanya 0,49 persen, itu 0,22 persen dari APBN, kemudian 0,14 persen itu diambil daro JKM (jaminan kematian), dan sisanya diambil dari JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja). Bagi Riden, ini kebijakan yang tidak tepat.
“Artinya JKM dan JKK itu sebenarnya uang saya, uang para buruh yang memang sudah diiurkan di manfaat BPJS Ketenagakerjaan. Gak fair dong, mosok saya yang iur lalu diambil untuk mereka yang ter-PHK,” ujarnya.
Lebih lanjut, Riden pun mencoba mencermati apa yang telah disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahwa JKP sebenarnya lebih baik dibanding Jaminan Hari Tua (JHT). Namun jika melihat lagi sisi manfaat di JKP, ternyata tidak terlalu baik untuk kaum buruh.
“Menko Airlangga sudah memaparkan, antara JKP dengan JHT itu lebih bagus JKP itu manfaatnya,” tandasnya.
Padahal kata Riden, JKP untuk tahun pertama adapat 45 persen dari upah, upah maksimum Rp5 juta. Dan jujur UMK di Indonesia belum ada yang Rp5 juta, rata-rata Rp3 juta. Itu hanya 3 bulan pertama, 3 bulan kedua hanya dapat 25 persen.
“Itulah fakta-fakta yang kami menyatakan JKP itu bukan solusi terhadap kami-kami yang masa-masa produktif kehilangan pekerjaan,” tegasnya.
Terakhir, jika memang pemerintah ingin mengatasi berbagai persoalan buruh, sebaiknya kembalikan saja aturan ketenagakerjaan ke regulasi sebelum Omnibus Law meluncur.
“Yang paling benar adalah pemerintah tetap mempertahankan UU Nomor 13 tahun 2003, di mana mekanisme PHK tidak mudah, hak-hak pekerja kena PHK untuk kelangsungan hidup masih bisa bertahan,” pungkasnya.