JAKARTA, HOLOPIS.COM – Inisiator Gerakan Nurani Kebangsaan (GNK), Habib Syakur Ali Mahdi Alhamid menegaskan, bahwa terorisme tidak ada urusannya dengan agama tertentu. Ia menilai perilaku intoleran, radikal dan teror adalah murni kesalahan dari individual seseorang saja.
Pun jika ada atribut-atribut agama tertentu, Habib Syakur menegaskan bahwa itu adalah oknum umat agama tersebut yang salah dalam memahami dan menjalankan ajaran agamanya. Karena pada dasarnya, tidak ada agama apapun yang mengajarkan kekerasan apalagi terorisme.
“Tidak ada agama yang mengajarkan teror, hanya pelaku tindak pidana yang salah mengartikan agama. Semua itu ada terjadi hanya karena satu yaitu salah memahami agama,” kata Habib Syakur dalam webinar yang digelar oleh Pemuda Moeslim Jayakarta secara virtual, Rabu (16/2).
Saya hanya menyebut bahwa (radikalisme dan terorisme) ini adalah adanya pemahaman (agama) dan tindakan yang salah. Dan yang dihukum adalah tindakannya.
Dalam upaya pemberantasan terorisme dan penanggulangan paham-paham radikalis ekstremis, Habib Syakur menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung langkah-langkah aparat penegak hukum untuk bertindak. Apalagi, radikalisme baik itu sifatnya sparatis maupun ideologis, adalah musuh dan menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara.
“Kita berharap rakyat selalu mendukung TNI-POLRI untuk menyelesaikan persoalan di negara tercinta ini mulai radikalisme dan KKB,” serunya.
Hal senada juga diutarakan oleh pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta. Ia justru mempertanyakan kembali siapa yang memunculkan framing bahwa penanggulangan radikalisme dan terorisme adalah bentuk penyudutan agama tertentu.
“Saya kembali bertanya, siapa yang menyudutkan umat Islam?. Saya sendiri sebagai seorang peneliti, saya tidak pernah menyebut bahwa (radikalisme dan terorisme) ini ada hubungannya dengan agama atau umat tertentu,” kata Stanislaus.
Ia menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme adalah bentuk kesalahan dalam pemahaman dan tindakan seseorang terhadap ajaran agamanya. Sehingga ketika ada tindakan hukum terhadapnya, maka bukan latar belakang agamanya yang dipersalahkan, melainkan tindakan dan perilakunya.
“Saya hanya menyebut bahwa (radikalisme dan terorisme) ini adalah adanya pemahaman (agama) dan tindakan yang salah. Dan yang dihukum adalah tindakannya,” terang Stanislaus.
Oleh karena itu, untuk mereduksi pemikiran bahwa penanggulangan terorisme adalah bentuk islamophobia atau memusuhi agama tertentu, Stanislaus mengajak semua tokoh agama untuk bersatu untuk bersuara bahwa tidak ada ajaran agama mereka yang mengajarkan intoleransi, radikalisme dan terorisme.
“Jika ada oknum yang menggunakan agama untuk pembenaran, ini jangan agamanya yang dimusuhi. Jadi semua tokoh agama harus berkumpul melawan terorisme. Karena terorisme ini sebenarnya adalah musuh agama,” tegasnya.