JAKARTA, HOLOPIS.COM Sebuah peristiwa besar terjadi pada masa pra Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepatnya pada 8 Desember 1942, salah satu daerah di pulau Kalimantan yakni Banjarmasin dibumihanguskan oleh salah satu misili Belanda, Algemene Vernielings Corps (AVC).

Teknik bumi hangus pada saat itu digunakan oleh negara Belanda untuk menyelamatkan kedudukannya di Kalimantan yang berusaha direbut oleh Jepang.

Insiden besar itu bermula saat Balikpapan jatuh ke tangan Jepang pada 24 Januari 1924. Untuk memperluas kedudukannya di pulau Kalimantan, tentara Jepang bergerak menuju Pasir dan Tanah Grogot dan kemudian mendarat di teluk Adang.

Belanda yang saat itu terancam, berusaha mundur sembari melaksanakan politik bumi hangus. Persediaan bensin, karet, instalasi-instalasi, pelabuhan, jembatan, kapal motor, dan sebagainya dirusak atau dibakar habis.

Belanda semakin terdesak setelah Jepang membagi pasukan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, dengan pasukan berjumlah tiga ratus sampai lima ratus orang, menerobos melewati hutan-hutan ke arah Muara Uya. Kemudian kelompok kedua melintasi sungai Pasir ke Tanah Grogot.

Hingga akhirnya, pada 4 Februari 1942, sebanyak 20 pasukan Jepang tiba di Tanah Grogot. Invasi Jepang ke selatan pun semakin terbuka lebar.

Kedatangan tentara Jepang di Tanah Grogot membuat orang-orang Belanda mulai gusar. Kemudian dimulailah strategi yang sudah direncanakan Belanda, yakni membumihangusan kota.

Sasaran pertama taktik tersebut adalah hulu sungai, sebab sebanyak 1.000 prajurit Jepang sudah tiba di daerah antara Muara Uya dan Bungkang.

Pada 5 Februari 1942, pasukan Belanda membakar habis persediaan minyak, beras dan karet, bahkan jembatan pun turut diledakkan. Namun taktik tersebut tak membuahkan hasil. Pada 6 Februari 1942 Jepang berhasil menduduki wilayah Tanjung dan dua hari kemudian disusul Kandangan.

Hingga akhirnya, tiga buah kapal milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) masuk ke Banjarmasin untuk mengevakuasi penduduk Belanda yang terkurung di dalam kota.

Setelah proses evakuasi selesai, pada tanggal 8 Februari 1942, Belanda dengan pasukan perusaknya yang diberi nama Algemene Vernielings Corps (AVC) menjadikan kota Banjarmasin menjadi lautan api.

Di perbatasan kota, seperti di Banua Anyar dan Bagau, kaleng-kaleng berisi minyak tanah, minyak pelumas, bensin, avgas, dan avtur yang bertumpuk di banyak sudut diledakan AVC menggunakan bom thermit yang dipasang di antara kaleng-kaleng tersebut.

Tak hanya di perbatasan tersebut, gardu listrik ANIEM yang berada di pusat kota turut diledakkan dan hangus hingga tinggal pondasi.

Pada tengah malam, taktik bumi hangus dipakai Belanda dengan meledakkan Pelabuhan Banjarmasin yang disusul instalasi radio di Kantor Pos. Pada esok harinya, Lapangan Terbang Ulin juga turut dirusak.

Amukan api bertambah dahsyat dengan pembakaran gudang getah, termasuk milik pengusaha Tionghoa Hok Tong, juga sebagian dari bangunan-bangunan Fort Tatas. Jembatan Coen, satu-satunya jembatan yang menghubungkan kedua bagian kota, diledakkan pada jam 9 pagi. Banjarmasin gemetar oleh ledakan dinamit yang keras.

Adapun taktik pembumihangusan itu digunakan Belanda agar tempat-tempat vital yang sudah dihancurkan tak dapat dipergunakan lagi oleh pihak musuh.