JAKARTA, HOLOPIS.COM – Tak terasa peristiwa tsunami Aceh telah berlalu 17 tahun lamanya. Meski begitu peristiwa yang terjadi pada 26 Desember 2004 tentu saja tak terlupakan dibenak kita selama ini.
Gempa dengan kekuatan 9,1 sampai 9,3 skala Richter mengguncang dasar laut di barat daya Sumatra, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai. Tak lama setelahnya datang tsunami yang meluluhlantahkan Aceh.
Bangunan-bangunan serta kendaraan tersapu oleh derasnya air. 168.000 orang tewas ketika dinding air menghantam pulau Nias dan provinsi Aceh, yang terletak di ujung utara Sumatera. Sementara di Sri Lanka 35.000 orang tewas, 18.000 meninggal di India dan 8.000 meninggal di Thailand. Tak hanya itu, ratusan orang juga tewas di Afrika.
Bencana paling dahsyat sepanjang abad ke-21, mencatat sebanyak 200 ribu warga menjadi korban, setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Mata dunia terbelalak pada jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan. Hampir seluruh negara besar di dunia mengibar bendera setengah tiang selama seminggu, mengenang bencana itu.
Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias mencatat sedikitnya 120.000 rumah rusak atau hancur, 800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 gedung sekolah rusak atau hancur.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bencana alam tsunami Aceh ini sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi. Sejak saat itu, bantuan internasional pun berdatangan untuk menolong masyarakat yang terkena bencana tsunami Aceh.
Termasuk pesawat militer dari Jerman hingga kapal induk milik Amerika Serikat didatangkan ke lokasi bencana. Selang beberapa hari dan proses pencarian korban terus digencarkan, PBB pada 4 januari 2005, mengeluarkan taksiran awal bahwa jumlah korban tewas akibat tsunami Aceh sangat mungkin melebihi angka 200.000 jiwa.
Pemulihan pasca tsunami Aceh
Dengan banyaknya bantuan dan perhatian pada wilayah terdampak bencana tsunami Aceh, baik yang datang dari Tanah Air maupun dunia internasional, Aceh perlahan kembali tertata. Tidak hanya secara infrastruktur dan bangunan, namun juga perekonomian, juga psikologis masyarakatnya.
Di Aceh, pada tahun 2009 didirikan sebuah museum untuk mengenang kejadian pilu itu. Museum itu adalah Museum Tsunami Aceh yang terletak di Kota Banda Aceh. Arsitek dari museum tersebut adalah Ridwan Kamil yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Barat.
Di dalam museum tsunami Aceh ini, terdapat beragam diorama yang menggambarkan peristiwa, juga daftar nama mereka yang menjadi korbannya. Museum ini bukan hanya menjadi situs untuk mengenang keganasan gempa dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004, namun juga menjadi pusat pembelajaran dan pendidikan kebencanaan bagi masyarakat.
Peringatan 17 Tahun Tsunami Aceh, Nelayan Nekat Melaut Bakal Kena Denda
Nelayan di Provinsi Aceh dilarang melaut dalam memperingati 17 Tahun peristiwa tsumami Aceh. Sekjen Panglima Laot Aceh Miftach Cut Adek mengatakan, peringatan tsunami yang digelar setiap 26 Desember merupakan hari pantang melaut bagi seluruh nelayan di Aceh.
“Tanggal 26 Desember hari pantang melaut. Hari pantang melaut ini sudah diputuskan dalam duek pakat atau rapat besar nelayan seluruh Aceh pada 2005 lalu,” katanya, Sabtu (25/12).
Dia menjelaskan, jika ada nelayan yang melanggar kesepakatan itu, maka akan dikenakan sanksi. Kapal mereka akan ditahan minimal 3 hari dan maksimal 7 hari. Semua hasil tangkapan akan disita untuk lembaga Panglima Laot Aceh.