JAKARTA, HOLOPIS.COM – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti memberikan catatan mengenai pembelajaran jarak jauh yang diterapkan oleh pemerintah. Retno menilai, kebijakan ini tidak mengakomodir anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Demikian disampaikan Retno dalam bincang Podcast ‘Ruang Tamu’ HOLOPIS.COM edisi Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang disiarkan secara langsung dalam akun instagram @holopiscom, Minggu (2/5/2021).
“Tidak pernah ada pemetaan kesenjangan kemampuan digital dan kemampuan ekonomi antara anak-anak di pedesaan dengan di perkotaan, antara anak-anak dari keluarga miskin dengan anak-anak dari keluarga kaya. Padahal BDR atau PJJ sangat dipengaruhi oleh faktor peranan orangtua peserta didik, misalnya, apakah ada pendampingan oleh orangtua, apakah orangtua memiliki kemampuan dalam penguasaan teknologi digital, apakah keluarga memiliki gadget atau hanya memiliki satu padahal anaknya lebih dari satu dan telepon genggam pun digunakan orangtua untuk bekerja, dan apakah selama BDR atau PJJ terjadi komunikasi intens antara orangtua dengan guru,” kata Retno.
Retno menambahkan, terlah terjadi disparitas anak-anak dari keluarga mampu dengan keluarga tidak mampu. Menurutnya tidak ada pemetaan variasi BDR atau PJJ yang dibangun bersama antara guru, siswa dan orangtua.
“Misalnya sistem pembelajaran seperti apa yang tepat atau sesuai dengan kondisi anak dari segi ekonomi keluarga, ketiadaan alat daring, ketidakstabilan sinyal, kondisi orangtua yang bekerja, apakah para guru memberikan umpan balik dari setiap penugasan yang diberikan,” ujarnya.
“Ada juga orang tuanya yang bekerja disawah, ini kan mereka tidak ada WFO atau WFH. Nah ini yang tidak bisa disamaratakan oleh pemerintah,” tambahnya.
Kebijakan BDR-PJJ sambung Retno, terkesan menyamakan masalah sehingga hanya satu solusi untuk semua problem BDR atau PJJ yang ada, misalnya bantuan kuota internet hingga Rp 7 T, namun pada praktiknya banyak yang mubazir dan tetap tidak mampu mengatasi masalah pembelajaran anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memiliki alat daring.
“Atau masalah anak-anak di pelosok yang berada pada wilayah blank spot. Peserta didik dari keluarga miskin dan di pelosok tetap saja tidak terlayani PJJ daring ketika kebijakannya tunggal, hanya memberikan bantuan kuota internet untuk semua masalah PJJ,” ujarnya.
Kemudian catatan Retno, kondisi setelah satu tahun lebih BDR atau PJJ mengakibatkan kejenuhan pada peserta didik sehingga menurunkan semangat belajar, munculnya masalah alat daring, masalah jaringan internet yang sulit.
“asalah tidak adanya interaksi guru-siswa dalam proses BDR-PJJ dan banyak anak kelas XII yang lulus tahun ini menunda kuliah karena sedang masa pandemic. Ini memunculkan potensi bertambahnya pengangguran, meningkatkan angka perkawinan anak dan pekerja anak,” tandasnya.
Temukan kami di Google News. Jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.