BerandaOpiniRadikalisme, Islam, dan NKRI

Radikalisme, Islam, dan NKRI

BACA JUGA

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik.

ADVERTORIAL SPACE

Pengertian di atas tak lepas dari awal mula kemunculan istilah radikal yang digunakan oleh Charles James Fox pada tahun 1797 saat menyerukan reformasi ‘ke akar’ dalam sistem pemerintahan Inggris Raya. Selanjutnya, istilah radikal itu menjadi label atau merek bagi setiap gerakan yang menginginkan perubahan cepat dalam politik dengan menggunakan kekerasan dan cara-cara yang ekstrem.

Sampai di sini menarik untuk membandingkan pengertian antara radikalisme dengan reformasi, dan dengan revolusi. Masih menurut KBBI, reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan revolusi adalah perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata). Antara radikalisme, reformasi, dan revolusi sejatinya mengandung pengertian yang sama. Yaitu sebagai satu gerakan untuk melakukan perubahan drastis di bidang politik dan sosial. Bedanya, masih mengacu kepada KBBI, dalam radikalisme tidak disinggung kata agama, sementara kata itu disebutkan dalam reformasi. Dalam radikalisme, kekerasan yang dimaksud bersifat umum, sedangkan dalam revolusi kekerasan itu dicontohkan –salah satunya dengan perlawanan bersenjata.

Pengertian dari tiga istilah itu penting untuk dipahami dengan jernih mengingat pengertiannya yang sama, yaitu sama-sama sebagai gerakan untuk membuat perubahan yang drastis, tapi memiliki cara yang berbeda-beda. Perjuangan memerdekakan Indonesia dari penjajah Belanda misalnya, tidak disebut dengan radikalisme. Tapi disebut revolusi. Begitu pula dengan aksi demonstrasi masif pada tahun 1998 guna menggulingkan rezim Soeharto, disebut dengan reformasi, dan bukan radikalisme. Cara melakukan perubahan yang yang sama-sama drastis itu diukur dengan sejauh mana gerakan yang dilakukan tidak menyimpang dari konsensus kebangsaan yang sudah disepakati bersama. Dalam konteks Indonesia, konsensus yang dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945 yang sudah final ditetapkan sebagai dasar berbangsa dan bernegara sejak Indonesia merdeka. Masalahnya, negara Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk. Baik dari segi suku, ras, etnis, budaya, dan bahasa, maupun dari segi agama. Kemajemukan itu masih ditambah dengan keadaan geografis yang terdiri dari ribuan pulau nan terpencar dari Sabang sampai Merauke dan tidak mudah ‘menginteraksikan’ satu pulau dengan pulau lainnya. Maka Pancasila dan UUD 1945 sebagai simpul pemersatu senantiasa menghadapi tantangan untuk sejauh mana bisa menjawab berbagai kepentingan yang berbeda-beda dari berbagai lapisan bangsa yang beraneka dan menetap di ribuan pulau yang terpisah-pisah itu.
Melalui Pancasila dan UUD 1945, para pendiri bangsa sudah terbukti mampu membuat simpul yang menyatukan kebhinnekaan itu hingga dapat diterima oleh semua golongan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, bisa diterima oleh semua agama di Indonesia karena tidak menyebutkan penamaan Tuhan secara khusus menurut agama-agama tertentu. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menempatkan semua golongan pada posisi yang sama. Begitu pula dengan sila-sila lainnya. Tidak ada satu sila pun yang menempatkan golongan tertentu di atas golongan lainnya atas dasar perbedaan agama, budaya, atau ras. Semua rakyat Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Tapi pada tahapan selanjutnya, jelas tidak mudah mengolah ‘idealita’ Pancasila yang terbukti sukses menjadi simpul pemersatu itu menjadi ‘realita’ yang seiring sejalan. Tidak mudah mewujudkan apa yang dicita-citakan persis sama dengan apa yang terjadi di lapangan. Padahal, ketidaksesuaian antara idealita dengan realita menjadi salah satu faktor yang bisa memancing individu atau kelompok tertentu untuk melakukan tindakan yang radikal. (Dari sejak Indonesia merdeka hingga pada tahun 2000-an sudah beberapa kali terjadi gerakan-gerakan yang mengarah pada penggembosan Pancasila dan UUD ’45. Bahkan pada masa Orde Baru sampai dibuatkan peringatan Hari Kesaktian Pancasila untuk mengingatkan bangsa pada gerakan G30S/PKI yang ingin menggantikan simpul pemersatu bangsa dengan simpul yang lain.

Ketidaksesuaian antara ‘idealita’ dengan ‘realita’ itu dapat dicontohkan pada) Kasus Kerusuhan Mei 1998 (13-15 Mei 1998) misalnya. Orang-orang pribumi di Jakarta menjarah dan membakar toko-toko etnis Tionghoa. Padahal waktu itu mereka tengah melakukan penuntutan politik agar Presiden Soeharto lengser. Tidak ada korelasi yang erat antara Presiden Soeharto dengan etnis Tionghoa kecuali bahwa selama presiden Soeharto berkuasa sektor-sektor ekonomi nasional banyak dikuasai oleh etnis Tionghoa. Tapi karena pada saat itu yang melakukan penjarahan adalah orang-orang Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia dan korbannya adalah orang-orang Tionghoa yang Kristen –waktu itu Konghucu belum menjadi agama yang diakui negara—dan minoritas, maka pemicunya bisa dibiaskan menjadi konflik rasial di satu sisi, serta konflik antar agama di sisi lain.
Keadaan yang tidak jauh berbeda bisa diterapkan pada kasus-kasus yang lain, semisal konflik antara orang Madura yang muslim dengan orang Dayak yang Kristen di Sampit yang berlangsung pada Desember 1996 sampai Januari 1997 dan terus berlanjut hingga tahun 2001.

Pendek kata, tindakan radikal yang mereka lakukan bukan karena agama yang mereka anut memiliki tuntunan atau ajaran yang radikal manakala mereka berhadapan dengan ras dan penganut agama yang berbeda. Bukan pula karena mereka menolak Pancasila dan UUD ’45 sebagai simpul pemersatu seperti gerakan-gerakan radikal (baca:pemberontakan) yang pernah terjadi sebelumnya. Bertahun-tahun sebelum konflik penjarahan itu terjadi, orang-orang Islam di Indonesia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan orang-orang Cina dan terlibat dalam transaksi ekonomi dengan nyaman. Begitu pula dengan konflik di Sampit. Bertahun-tahun sebelum konflik itu terjadi, orang-orang Madura dan orang-orang Dayak sudah hidup berdampingan dan saling berinteraksi dengan baik antara satu dengan lainnya. Ketidaksesuaian antara das solen dengan das sein dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan UUD ’45 sebagai simpul negara menjadi salah satu faktor yang memicu konflik awal, sebelum berkembang menjadi tindakan-tindakan radikal setelah dikait-kaitkan dengan sentimen agama.

Potensi Radikalisme dalam Agama
Tapi bukan berarti agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia tidak memiliki ajaran yang bisa ditafsirkan dapat memicu konflik horizontal atau memantik pandangan, pemahaman, dan tindakan yang radikal. Hampir semua agama membawa ajaran yang memiliki ‘potensi’ untuk dipahami dengan radikal, sekalipun secara general ajaran agama-agama menuntun penganutnya pada kebahagiaan dan kedamaian. Karena itu, sejarah agama tidak pernah bersih dari peperangan dan tindak-tindak kekerasan, terutama setelah pembawa ajaran (nabi) mangkat hingga tidak ada lagi pemilik otoritas mutlak yang dapat memberikan makna tunggal atas ajaran yang disampaikan oleh Tuhan.

Bagi agama Yahudi, setelah Nabi Musa wafat, pemaknaan terhadap isi Taurat atau Perjanjian Lama bisa berbeda-beda antara satu rabi dengan rabi lainnya. Tergantung pada latarbelakang sosialnya masing-masing. Tidak lagi tergantung pada wahyu Tuhan seperti ketika Nabi Musa masih berada di tengah-tengah mereka. Begitu pula halnya dengan agama Kristen dan agama Islam. Kitab Perjanjian Baru dan Alquran pada masa Nabi Isa dan Nabi Muhammad dapat dipahami dengan pemaknaan tunggal yang lantas dijadikan sebagai pedoman yang juga tunggal. Tapi setelah itu, pemaknaan terhadap ajaran di kitab suci mereka menjadi berbeda-beda antara satu pendeta dengan pendeta yang lain atau antara ulama satu dengan ulama lainnya. Kalau tidak demikian, tentu saat ini tidak akan ada pemilahan-pemilahan yang tajam antara Kristen Katolik dengan Kristen Protestan, atau antara keduanya dengan Kristen Ortodoks dan Anglikan. Di dalam Islam, tidak akan ada pemahaman-pemahaman yang berbeda antara mazhab Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Maliki, dan Imam Hanafi di kalangan Sunni, dengan mazhab imam-imam lain di kalangan Syiah.

Potensi Radikalisme dalam Islam
Ajaran dalam Islam yang selama ini dijadikan alasan untuk melakukan tindakan-tindakan yang radikal adalah jihad. Secara bahasa, makna jihad adalah bersungguh-sungguh melakukan sesuatu. Sedangkan secara terminologis, jihad berarti sungguh-sungguh berjuang untuk menegakkan agama Allah (Islam) dengan cara mengorbankan harta dan nyawa.
Ajaran jihad ini memiliki dua kata kunci. Yaitu mengorbankan harta dan nyawa, serta menegakkan agama Islam. Di dalam Islam, harta dan nyawa memiliki nilai yang penting. Orang yang mencuri harta orang lain diganjar hukuman berat dengan cara dipotong tangannya.

Sementara orang yang membunuh orang lain dihukum dengan cara yang sama: dibunuh. Maka orang yang mengorbankan keduanya dengan tujuan menegakkan ajaran Allah akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah dan jaminan masuk surga tanpa hisab.10 Tokoh-tokoh jihad dalam pengertian ini adalah para sahabat yang selalu berada di samping Nabi, semisal Abu Bakar dan Utsman. Keduanya tidak hanya bersedia mengorbankan nyawa dengan cara ikut berperang bersama Nabi, tapi juga mendermakan hampir seluruh harta yang mereka miliki untuk kepentingan tersebut.

Di masa Nabi itu, jihad memiliki makna tunggal sebagai panggilan kebenaran dalam beragama. Maka saat Nabi menyerukan jihad kepada para sahabat, nyaris tidak ada sahabat yang tidak tergerak. Alasannya jelas: perintah Nabi pasti benar karena bersumber langsung dari Allah melalui wahyu.

Tapi setelah Nabi wafat, tidak ada lagi pemegang otoritas tunggal kebenaran dalam memaknai ajaran agama Islam. Termasuk ajaran jihad. Maka ketika kata jihad itu diserukan oleh pemimpin pengganti Nabi (khalifah), para sahabat tidak serta merta menyingsingkan lengan seperti yang mereka lakukan pada masa Nabi. Bahkan selang beberapa tahun sepeninggal Nabi, khalifah ketiga, Utsman bin Affan dieksekusi di rumahnya sendiri di Madinah tanpa ada pembelaan dari para sahabat Nabi. Padahal pelakunya bukan orang kafir, melainkan orang Islam sendiri. Beberapa saat kemudian, pada masa Khalifah Ali, terjadi perang Perang Jamal (Perang Unta) 11 antara Khalifah Ali, menantu dan sepupu Nabi, melawan Sitti Aisyah, istri Nabi yang notabenenya adalah mertua sambung Khalifah Ali sendiri. Tidak hanya itu. Khalifah Ali juga berperang melawan pasukan Muawiyah dari Damascus beberapa saat sebelum Khalifah Ali dibunuh oleh orang Islam sendiri.

Klausa menegakkan agama Islam, pada peristiwa sejarah sepeninggal Nabi di atas menjadi kabur. Sebab masing-masing pihak mengatasnamakan kebenaran ajaran Islam saat mereka melakukan tindakan yang radikal atau saat mereka berperang. Masing-masing pihak mengakui tindakannya sebagai jihad. Apalagi setelah itu, rentetan perang antara umat Islam melawan umat Islam lainnya terus berlangsung seiring pergantian dinasti. Bermula dari Dinasti Muawiyah (661 M-750 M) yang terpusat di Damascus, lalu berganti ke Dinasti Abbasiyah (750 M-1250 M) di Irak, dan berakhir hingga ke Dinasti Utsmaniyah (1299 M-1924 M) di Turki.

Jihad Perspektif Nabi

Terlepas dari pengertian jihad yang dipraktikkan berbeda-beda dalam sejarah perjalanan Islam di atas, klausa menegakkan agama Islam yang menjadi ruh dari jihad mesti dipahami dari keteladanan yang dilakukan oleh Nabi, serta dari ajaran Islam itu sendiri sebagai kontinuitas dari ajaran-ajaran agama sebelumnya.12 Dan sebagai kontinuitas dan penyempurna,13 di dalam Alquran yang menjadi sumber pertama dan utama bagi Islam, terdapat kisah-kisah mengenai nabi-nabi dan umat-umat terdahulu yang harus dijadikan pelajaran bagi umat Islam. Sebab kisah-kisah itu menjadi bagian yang tidak akan pernah terhapuskan dari Alquran –dan karena itu harus selalu dijadikan sebagai pedoman.

Beberapa kisah itu dinukilkan di sini agar dapat menjadi ilustrasi yang utuh:
Kisah yang pertama adalah tentang Kabil dan Habil. Diceritakan di Surat al-Maidah ayat 07- Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad: “Bacakan kepada mereka peristiwa mengenai kedua anak laki-laki Adam manakala mereka berdua mengadakan kurban. Maka (kurban) salah satunya diterima, dan (kurban) yang lainnya ditolak. Kata (anak Adam yang kurbannya ditolak), ‘Sungguh akan kubunuh kamu!’ Jawab (anak Adam yang kurbannya diterima), ‘Jika kamu rentangkan tanganmu ke arahku, untuk membunuhku, maka aku tidak akan (balas) merentangkan tanganku ke arahmu, untuk membunuhmu. Aku takut (dosa) kepada Tuhan alam semesta.’ Lalu (anak Adam yang kurbannya diterima) membiarkan dirinya dibunuh oleh saudaranya (yang kurbannya ditolak). Maka dia (yang kurbannya ditolak) membunuhnya.”

Di kisah ini, Habil –yang kurbannya diterima—tidak melawan ketika Kabil –yang kurbannya ditolak— mengancam akan membunuh. Habil malah mempersilakan dirinya untuk dibunuh. Maka pada masa Nabi Muhammad, selama Nabi berada di kota Mekah, tidak pernah sekalipun Nabi merancang upaya-upaya untuk membalas dendam kepada orang-orang kafir yang telah menyiksanya dengan keras bersama sahabat-sahabatnya. Bukan karena Nabi takut akan terjadi pembalasan yang lebih sadis. Atau karena Nabi dan para sahabat tidak memiliki kemampuan untuk merancang taktik balas dendam. Sebab ketika beberapa tahun kemudian Nabi datang lagi ke kota Mekah membawa pasukan besar yang tidak lagi bisa dihalau, tidak seorang pun yang Nabi bunuh dan tidak se rumah pun yang Nabi hancurkan. Orang-orang yang dulu menyiksa Nabi dan sahabat-sahabatnya dengan kejam malah diperlakukan dengan baik!

Kisah yang kedua adalah tentang Nabi Sulaiman. Diceritakan di Surat al-Naml (semut) ayat 17-19. Nabi Sulaiman diberi anugerah kekuasaan yang besar oleh Allah menjadi raja diraja yang bisa menakhlukkan jin, memahami bahasa binatang, dan menjinakkan angin. ”Sehingga ketika Nabi Sulaiman dan pasukannya (melewati) lembah (kerajaan) semut, (raja) semut berseru, ‘Wahai (rakyat) semut! Masuklah ke sarang kalian biar Nabi Sulaiman dan bala tentaranya tidak menginjak-injak kalian tanpa mereka sadari.’ Seruan (raja) semut itu membuat Nabi Sulaiman tersenyum lebar dan (langsung) berdoa: ‘Tuhanku, beri aku anugerah untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada orang tuaku dan agar aku bisa melakukan kebaikan yang Engkau sukai. Serta masukkan aku seiring rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.”’

Di kisah ini, Nabi Sulaiman masuk ke dunia binatang (semut) dan mengetahui bahwa binatang sama seperti halnya manusia: memiliki rasa sakit dan berupaya untuk menjaga eksistensi mereka. Karena itu, Nabi Sulaiman menghentikan pasukannya dan membiarkan rombongan semut menjalani kehidupan mereka dengan aman dan nyaman. Maka pada masa Nabi Muhammad, umat Islam tidak diperbolehkan menyiksa binatang secara mutlak. Binatang boleh dibunuh jika buas dan mengancam eksistensi manusia. Binatang juga boleh disembelih untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan syarat-syarat tertentu yang tidak mengakibatkan sakit yang berlarut-larut. Spiritnya, jika binatang saja harus dihargai eksistensinya sebagai makhluk Tuhan di bumi, bagaimana dengan manusia yang merupakan makhluk Tuhan paling mulia di antara makhluk-makhluk Tuhan lainnya?

Kisah yang ketiga adalah tentang Nabi Musa. Diceritakan di Surat Thaha ayat 43-44. “Pergilah kalian berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) menghadap Firaun. Sesungguhnya Firaun itu jahat. Maka kalian berdua harus berkata-kata dengan lembut kepada Firaun. Mudah-mudahan (dengan begitu) Firaun jadi sadar atau jadi takut (kepada-Ku).”

Di kisah ini, Nabi Musa bersama saudaranya, Nabi Harun, diperintahkan oleh Allah untuk menghadap ke Firaun menyampaikan risalah Allah. Di ayat yang lain dijelaskan, Firaun tidak sekadar lalim dan kejam, tapi sudah mendakwahkan dirinya sebagai tuhan yang agung. Padahal menyekutukan Allah saja sudah menjadi dosa besar yang tidak terampuni, apalagi dengan mendakwahkan dirinya sebagai pesaing Tuhan. Tapi sekalipun demikian, Allah tetap memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyikapi Firaun dengan baik dan lembut. Maka pada masa Nabi Muhammad, tidak boleh menghina orang lain. Karena boleh jadi orang yang kita hina malah lebih baik. Berkata-kata harus baik, atau diam jika tidak bisa. Kepada orang lain harus berbaik sangka.

Kisah-kisah di atas diabadikan di dalam Alquran yang dijamin oleh Allah tidak akan bisa berubah 20 dan menjadi tuntunan bagi umat Islam sepanjang zaman. Dengan demikian, kisah-kisah tersebut bukan dongeng pengantar tidur dengan tujuan sekadar memberikan informasi tentang umat-umat terdahulu. Di balik kisah-kisah tersebut terdapat amanat yang memiliki kekuatan sebagai ajaran yang harus dilakukan seperti yang sudah dipraktikkan langsung oleh Nabi. Bahkan terkait dengan perintah Allah pada Nabi Musa dan Nabi Harun tersebut di atas, Nabi Muhammad menerapkan standar yang lebih tinggi. Kata Nabi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: ”Sambunglah (hubungan) dengan orang yang memutuskan (hubungan) denganmu. Dan berbuat baiklah kamu sekalipun kepada orang yang menjahati kamu.” Memaafkan kesalahan orang lain jauh lebih baik dibandingkan dengan memberikan balasan yang setimpal, sekalipun hal itu dibolehkan dalam standar tertentu.

Dari kisah-kisah di atas dapat dipahami kenapa Nabi Muhammad dan ajaran Islam yang dibawa disebut oleh Allah sebagai ‘rahmatan lil ‘alamin’, menjadi berkah bagi alam semesta. Sebab misi pertama manusia saat akan diciptakan oleh Allah adalah untuk menjadi khalifah Allah di bumi dengan misi memakmurkan bumi dengan segenap isinya. Termasuk tidak melakukan pertumpahan darah dengan sesama manusia dan tidak mengekplorasi bumi (merusak) dengan tidak proporsional.

Islam di Nusantara

Agama yang menjadi berkah bagi alam semesta itulah yang menjadi pijakan bagi Wali Sanga ketika menyebarkan agama Islam di Nusantara. Dalam waktu yang relatif singkat, agama Islam banyak dianut karena dalam agama baru ini mereka menemukan posisi yang tidak saling merendahkan satu sama lain. Kontras dengan pandangan agama yang mereka anut sebelumnya, di mana mereka ditempatkan pada posisi yang rendah (kasta). Dalam agama Islam, derajat atau kelas seseorang ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Bukan karena status sosial atau karena keturunan. Sedangkan tingkat ketakwaan seseorang hanya bisa diketahui oleh Allah. Manusia tidak diberi otoritas untuk mengukur tingkat ketakwaan orang per orang sehingga dengan begitu bisa memandang tinggi derajat seseorang untuk lantas dihormati dan memandang rendah derajat seseorang lainnya untuk lantas dihinakan.

Agama baru ini juga tidak menghapus tradisi-tradisi dan budaya-budaya yang jauh sebelumnya sudah mereka pegang teguh. Mereka tetap bisa membuat sesajen dan membakar kemenyan, asal sesajen itu dibacakan menggunakan bacaan-bacaan yang disunnahkan dalam Islam. Bukan menggunakan mantra-mantra yang biasa mereka rapalkan. Mereka tetap bisa menembang asal berisi pujian-pujian untuk Tuhan atau pandangan-pandangan yang akan mengarahkan orang lain ke jalan yang benar seperti tembang Tombo Ati. Mereka juga tetap menggunakan baju-baju kedaerahan yang biasa mereka kenakan sebelumnya asal bisa menutupi aurat. Tidak mesti mengganti dengan jubah seperti yang biasa dikenakan oleh beberapa wali tertentu dari Wali Sanga.

Agama baru ini terus berkembang di Nusantara melampaui model-model pemerintahan. Dari masa kerajaan, penjajahan, hingga pasca penjajahan ketika tokoh-tokoh dari agama Islam bahu membahu bersama tokoh-tokoh lain lintas agama dan keyakinan untuk sama-sama memardekakan Nusantara. Seandainya tokoh-tokoh Islam semisal KH Hasyim Asy’ari yang sudah mendirikan NU pada 31 Januari 1926 di Surabaya dan memiliki pengikut yang banyak dan tersebar di daerah-daerah, begitu pula dengan KH Ahmad Dahlan yang sudah mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta serta Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto yang mendirikan Sarekat Islam pada 16 Oktober 1905 di Surakarta menghendaki Nusantara menjadi Negara Islam karena keyakinan keislaman mereka, maka bisa dipastikan mereka akan menolak konsensus apapun selain Negara Islam yang saat itu tengah diperjuangkan untuk dimerdekakan. Nyatanya, tidak seorang pun dari mereka bersama jajaran ulama dan tokoh-tokoh Islam di belakangnya menghendaki pendirian Negara Islam. Padahal mereka memimpin secara kultural umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk dari negara baru yang akan mereka memerdekakan dan secara otomatis umat Islam itulah yang sejatinya memiliki kontribusi paling besar dibandingkan dengan umat-umat agama lain yang terpecah-pecah menjadi minoritas kecil. Mereka sepakat dengan Negara Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara, di mana identitas keislaman umat Islam yang mayoritas terangkum secara umum dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan ketika tercetus keinginan dari sebagian tokoh untuk menerapkan Piagam Jakarta dan tidak disepakati, mereka tidak berusaha untuk menyatukan barisan guna melakukan penuntutan, apalagi melakukan pemberontakan.

Pemberontakan oleh DII/LDII yang dilakukan kemudian bukan karena tuntunan ajaran, melainkan karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang tidak atau belum mampu mengakomodir kepentingan yang mereka perjuangkan. Karena itu, sekalipun mereka mengusung kata Islam, mereka tidak didukung oleh umat Islam di daerah-daerah lain dan tidak ikut diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Islam nasional. Yang menarik, Gerakan Aceh Merdeka yang terkenal dengan keislamannya yang kuat malah tidak mencantumkan Islam dalam gerakan mereka yang panjang dan sengit, seakan mempertegas keyakinan mereka bahwa Islam bukan agama yang harus dinegarakan, melainkan tatanan nilai-nilai yang mengatur negara.

Islam adalah agama rahmatan lil alamin, baik dalam ajaran maupun praktiknya pada masa Nabi. Dengan demikian, Islam dengan sendirinya menolak radikalisme dan tindakan-tindakan lain yang menyalahi berkah kehadiran Islam sebagai ajaran yang menjamin keselamatan bagi segenap entitas yang ada di bumi, terlepas dari berbagai perbedaan yang mereka miliki.

ADVERTORIAL SPACE

Temukan kami di Google News. Kamu juga bisa dapatkan berita menarik dari WhatApp Channel Holopis. Join yuk guys... !

Advertorial

BERITA TERBARU

Rekomendasi :

Menolak Penggunaan Angket Pemilu yang Mubazir

Oleh : Mochammad Thoha / Ketum Millenial Rajut Indonesia - MRI

Rencana PP Penempatan TNI Polri di Jabatan Sipil: Jokowi Mengembalikan Dwifungsi ABRI

Oleh : Gufron Mabruri / Direktur Imparsial

Legacy Etik Rizal Ramli

Oleh : Ubedilah Badrun / analis sosial politik UNJ.

Berbagi Pemborosan Ala Kementerian ESDM

Oleh : Dr. USMAR, Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo, Jakarta.

Reservasi Bangsa Indian Amerika dan Kasus Masyarakat Melayu Rempang – Galang

Oleh: Aziz Yanuar, SH, MH / Ketua DPP-Advokat Persaudaraan Islam (API)

Komitmen Pemberantasan Korupsi KPK dalam Tantangan Tahun Poitik

Oleh : Firli Bahuri / Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.

Antara Gajah Mada dan Prabowo

Oleh : Muhammad Roofi'u Fauzani / Mahasiswa Universitas Presiden.

Ideologi Relawan Politik

Menjelang akan dibukanya pendaftaran resmi Capres dan Cawapres pada tanggal 19 Oktober 2023 - 25 November 2023 untuk Pemilu 2024 yang akan datang, sudah...

Alam Sudah Bersabda, Perubahan Akan Tiba!

Oleh : Bambang SP /Budayawan.

Refleksi HUT Polri Ke-77

Oleh : Sugeng Teguh Santoso / Ketua IPW