BerandaOpiniPemuda Pancasila dalam Pemerintahan: Menggaet Otoritas dengan Legitimasi

Pemuda Pancasila dalam Pemerintahan: Menggaet Otoritas dengan Legitimasi

BACA JUGA

Berbagi Parsel Ramadan untuk Yatim dan Dhuafa

Ketegasan itu juga jangan hilang dari Polri. Kewibawaan juga jangan hilang dari Polri. Saya sudah lama sekali ingin menyampaikan, ada kapolda baru, ada kapolres baru, malah datang kepada sesepuhnya ormas yang sering membuat keributan,” ujar Jokowi dalam pidatonya kepada Kepala Satuan kerja di Badung, Bali, Jumat 3 Desember 2021 (Kompas, 2021).

ADVERTORIAL SPACE

Kutipan Jokowi mengenai “sesepuh ormas” ini mencerminkan situasi Pemuda Pancasila sebagai organisasi yang memiliki kuasa legitimasi, tetapi tidak otoritas.

Tanpa keraguan, organisasi masyarakat yang disebut sebagai Pemuda Pancasila masih berkuasa dalam lingkup pemerintahan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan posisi mantan kadernya dalam pemerintahan. Di antaranya terdapat Ketua MPR, Bambang Soesatyo; Ketua DPD, La Nyalla Mahmud Mattalitti; dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo (Tempo, 2021).

Hal ini menolak tegas tesis Ryter (2018) yang menyatakan bahwa politik preman di Indonesia bergeser ke preman yang condong islamis. Namun, kenyataanya Pemuda Pancasila masih memiliki kedudukan yang relevan di pemerintahan dan preman-preman islamis yang diprediksikan sebagai pelanjut dari politik preman seperti FPI justru dibubarkan.

Sekarang dipimpin oleh Japto Soerjosoemarno dan Yorrys Raweyai, Pemuda Pancasila lahir setelah Dekrit Presiden 1959 sebagai ounderbow dari Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) milik A. H. Nasution dan ditemukan oleh Simon Petrus “Spego” Goni. Konteks Pemuda Pancasila sebagai organsiasi sipil paramiliter tidak bisa dipisahkan dari tujuan IPKI yang saat itu memasukkan kehidupan militer ke dalam dunia sipil. Walaupun sekarang Pemuda Pancasila dipandang sebagai ormas anti komunis, sesungguhnya Pemuda Pancasila adalah organisasi loyalis. Hal tersebut terbukti saat Kongres IPKI di Surabaya Pemuda Pancasila justru mendukung Manipol dan Soekarno. Hal tersebut terus berlanjut hingga Orde Baru di bawah rezim Soeharto. Sekarang pun, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden K. H. Ma’ruf Amin diangkat menjadi anggota luar biasa Pemuda Pancasila (CNN Indonesia, 2021; Ryter, 2018).

Kedudukan Pemuda Pancasila sebagai ormas sangat krusial untuk menjelaskan kuasa yang mereka miliki yakni memiliki otoritas, tetapi tidak legitimasi. Walaupun sejumlah ahli seperti Diamond (1994) akan menolak penggolongan Pemuda Pancasila sebagai ormas karena di antaranya tidak demokratis, menggunakan kekerasan sebagai paramiliter, dan memiliki kedudukan di pemerintahan maupun ranah elektoral, ahli lain seperti Kopecky (2003) justru tidak akan bermasalah dalam mengklasifikasikan Pemuda Pancasila sebagai ormas.

Posisi Pemuda Pancasila sebagai ormas yang secara formal berada di luar pemerintahan menjadi salah satu keunggulan yang dimiliki. Berenschot et al. (2017) menemukan bahwa legitimasi kedudukan Pemuda Pancasila sebagai ormas adalah untuk mengisi monopoli pemerintah atas kekerasan dan jaminan keamanan saat pemerintah gagal. Intinya Pemuda Pancasila sendiri awalnya memiliki legitimasi, tetapi tidak otoritas. Namun, seringkali pemerintahan saat Orde Baru mengeksploitasi hubungan ini.

Pemuda Pancasila, sebagai oknum di luar pemerintahan dapat melakukan kekerasan dan melakukan aksi yang mendukung agenda dalam pemerintahan tanpa mendelegitimasi pemerintahan. Di sisi lain, karena loyalitas mereka dan tindakan yang mereka berani lakukan, beberapa anggota Pemuda Pancasila dapat naik ke dalam posisi strategis di pemerintahan dan mendapatkan otoritas. Hal tersebut memberikan Pemuda Pancasila keduanya legitimasi dan otoritas.

Legitimasi dapat dimengerti secara sederhana sebagai kepercayaan terhadap bahwa seorang aktor berhak memiliki kuasa sementara otoritas dapat dimengerti sebagai kemampuan aktor untuk mempertahankan kekuasaan, atau kekuasaan nyata yang dimiliki. Walaupun dua konsep ini bergandengan, kadangkala dalam kenyataan mereka dapat muncul independen satu sama lain. Sebagai contoh seorang kepala desa mungkin dapat memenangkan pemilu, tetapi banyak warga memilih untuk tidak mendengarkan keputusan kepala desa karena ia tidak memiliki legitimasi, tetapi memiliki otoritas sebagai kepala desa. Sementara itu, seorang tokoh dalam suatu ormas mungkin tidak memiliki kedudukan apapun untuk menentukan kebijakan, tetapi selalu dirujuk untuk memberikan masukan dalam kebijakan sehingga ia memiliki legitimasi.

Secara ideal, pemimpin dan aktor-aktor yang bergulat di arena politik harus memiliki kedua hal tersebut, legitimasi memberikan persetujuan atas tindakan politik yang diambil, sementara otoritas memberi justifikasi dan landasan atas tindakan politik.

Faktor lain yang mengkokohkan Pemuda Pancasila sebagai ormas yang berkuasa justru adalah kegagalannya dalam ranah elektoral. Wilson (2010) mencatat bahwa pada tahun 2004 Pemuda Pancasila mencoba untuk bertransisi menuju demokrasi dengan mendaftar ke dalam DPR sebagai Partai Patriot Pancasila. Namun, partai tersebut gagal, hanya memenangkan suara sebesar 1,04%. Pada tahun 2009 Pemuda Pancasila mencoba lagi, tetapi juga gagal, hanya memenangkan 0,53% dari total suara. Kekalahan Pemuda Pancasila dalam ranah elektoral ini berakibat bahwa mereka tidak memiliki otoritas sebagai organisasi yang bertahan hidup di lingkungan politik elektoral Indonesia.

Masuknya anggota Pemuda Pancasila dalam pemerintahan akhirnya merupakan sarana paling mudah untuk mengaitkan legitimasi yang mereka miliki dengan sebuah otoritas. Dengan memiliki anggota dalam pemerintahan Pemuda Pancasila dapat mempromosikan agenda yang dimilikinya dan mendapatkan otoritas. Namun, sepertinya otoritas tersebut tidak melekat ke dalam Pemuda Pancasila sebagai organisasi. Hal ini mengafirmasi posisi Pemuda Pancasila sebagai organisasi masyarakat yang berada di luar sistem pemerintahan, bebas dari loyalitasnya terhadap rezim.

Bebas dari pandangan pribadi terhadap individu, Pemuda Pancasila masih memiliki legitimasi yang besar di beberapa segmen tertentu dalam masyarakat. Hubungan antara pemerintah dan Pemuda Pancasila dapat dimaknai sebagai hubungan resiprokal antara legitimasi dan otoritas. Pemuda Pancasila, dengan kegagalannya dalam ranah elektoral sudah tidak dapat mendapatkan otoritas yang ekslusif sementara pemerintahan terus berjalan dan dapat menjauh dari Pemuda Pancasila suatu hari untuk mendapatkan legitimasi. Hal ini tidak langsung mengerucut kepada merosotnya Pemuda Pancasila secara langsung, tetapi hal ini bergantung besar kepada mereka yang berada di puncak hubungan ini untuk menjamin berlangsungnya hubungan ini dan relevansi Pemuda Pancasila ke depannya.


Referensi
Berenschot, W., Schulte Nordholt, H. G. C. (Henk), & Bakker, L. (2017). Militias, Security and Citizenship in Indonesia. In Citizenship and Democratization in Southeast Asia (pp. 123–154). BRILL. https://doi.org/10.1163/9789004329669_007
CNN Indonesia. (2021, December 2). Sejarah Pemuda Pancasila , Ormas yang Didirikan Jenderal Besar TNI. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211201125853-20-728399/sejarah-pemuda-pancasila-ormas-yang-didirikan-jenderal-besar-tni
Diamond, L. J. (1994). Toward Democratic Consolidation. Journal of Democracy, 5(3), 4–17. https://doi.org/10.1353/jod.1994.0041
Kompas. (2021, December 3). Jokowi Bicara Kewibawaan Polri: Ada Kapolda- Kapolres Datang ke Sesepuh Ormas Sering Buat Keributan.. Kompas. https://www.kompas.tv/article/238288/jokowi-bicara-kewibawaan-polri-ada-kapolda-kapolres-datang-ke-sesepuh-ormas-sering-buat-keributan
Kopecký, P., & Mudde, C. (2003). Rethinking civil society. Democratization, 10(3), 1–14. https://doi.org/10.1080/13510340312331293907
Ryter, L. (2018). PEMUDA PANCASILA: THE LAST LOYALIST FREE MEN OF SUHARTO’S ORDER? In B. R. O. Anderson (Ed.), Violence and the State in Suharto’s Indonesia (Vol. 1, Issue 1, pp. 124–155). Cornell University Press. https://doi.org/10.7591/9781501719042-006
Tempo. (2021, November 26). Deretan Pengurus Pemuda Pancasila yang Jadi Pejabat Negara. Tempo. https://metro.tempo.co/read/1532792/deretan-pengurus-pemuda-pancasila-yang-jadi-pejabat-negara
Wilson, I. (2010). 10. The Rise and Fall of Political Gangsters in Indonesian Democracy. In Problems of Democratisation in Indonesia (pp. 199–218). ISEAS Publishing. https://doi.org/10.1355/9789814279918-015
ADVERTORIAL SPACE

Temukan kami di Google News. Kamu juga bisa dapatkan berita menarik dari WhatApp Channel Holopis. Join yuk guys... !

Advertorial

BERITA TERBARU

Rekomendasi :

Menolak Penggunaan Angket Pemilu yang Mubazir

Oleh : Mochammad Thoha / Ketum Millenial Rajut Indonesia - MRI

Rencana PP Penempatan TNI Polri di Jabatan Sipil: Jokowi Mengembalikan Dwifungsi ABRI

Oleh : Gufron Mabruri / Direktur Imparsial

Legacy Etik Rizal Ramli

Oleh : Ubedilah Badrun / analis sosial politik UNJ.

Berbagi Pemborosan Ala Kementerian ESDM

Oleh : Dr. USMAR, Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Moestopo, Jakarta.

Reservasi Bangsa Indian Amerika dan Kasus Masyarakat Melayu Rempang – Galang

Oleh: Aziz Yanuar, SH, MH / Ketua DPP-Advokat Persaudaraan Islam (API)

Komitmen Pemberantasan Korupsi KPK dalam Tantangan Tahun Poitik

Oleh : Firli Bahuri / Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.

Antara Gajah Mada dan Prabowo

Oleh : Muhammad Roofi'u Fauzani / Mahasiswa Universitas Presiden.

Ideologi Relawan Politik

Menjelang akan dibukanya pendaftaran resmi Capres dan Cawapres pada tanggal 19 Oktober 2023 - 25 November 2023 untuk Pemilu 2024 yang akan datang, sudah...

Alam Sudah Bersabda, Perubahan Akan Tiba!

Oleh : Bambang SP /Budayawan.

Refleksi HUT Polri Ke-77

Oleh : Sugeng Teguh Santoso / Ketua IPW