JAKARTA – Bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie menilai wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak memiliki pijakan yang kuat secara politik.
Hal ini disampaikan Prof Jimly setelah mendengar sudah ada 3 (tiga) partai politik yang menyatakan penolakan terhadap agenda pemakzulan, seperti yang diinginkan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI.
“Sudah tiga partai politik yang menolak pemakzulan. Apa itu belum cukup untuk meyakinkan bahwa pemakzulan tidak mungkin terjadi?” ujar Prof Jimly, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (11/6/2025).
BACA JUGA
Meski tidak merinci nama ketiga partai tersebut, Jimly menegaskan bahwa dukungan politik yang minim membuat proses pemakzulan terhadap Gibran sulit terealisasi.
Ia pun mendorong masyarakat untuk mengalihkan perhatian pada pengawasan terhadap jalannya pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran.
“Lebih baik energi publik digunakan untuk mengawasi kinerja pemerintah sekarang. Jangan sampai kita terjebak pada isu yang tidak produktif,” imbuhnya.
Jimly juga mengingatkan agar masyarakat belajar dari dinamika Pemilu Presiden 2024, yang menurutnya menyisakan banyak catatan penting. Ia berharap, pada Pemilu 2029 mendatang, kesalahan serupa tidak terulang dan sistem pemilu dapat diperbaiki secara menyeluruh.
“Perlu persiapan serius untuk menghadapi Pilpres 2029 agar pengalaman pahit tahun 2024 tidak terulang. Yang lebih penting adalah langkah perbaikan sistem ke depan,” tegasnya.
Sekadar diketahui Sobat Holopis, bahwa isu pemakzulan berhembus setelah adanya surat Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu ditujukan kepada Ketua MPR RI Ahmad Muzani dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Dalam surat itu, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mendukung MPR RI segera memproses pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Alasan mereka mendorong pemakzulan Gibran sebagai Wapres, karena disebut telah melanggar pelanggaran prinsip hukum, etika publik dan konflik kepentingan.
Putra sulung Joko Widodo itu memperoleh tiket pencalonan melalui perubahan batas usia capres-cawapres dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Proses tersebut dinilai telah melanggar UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, dinyatakan tidak sah atau cacat hukum.