JAKARTA – Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menghangat setelah Forum Purnawirawan TNI mengirimkan surat resmi kepada DPR, MPR, dan DPD RI.
Surat bertanggal 26 Mei 2025 tersebut ditandatangani empat jenderal purnawirawan TNI, mendesak dimulainya proses pemakzulan terhadap putra sulung Presiden Joko Widodo.
Forum itu menilai Gibran tidak layak menjabat Wapres karena lahir dari putusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai cacat hukum, yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Mereka menyoroti konflik kepentingan dalam proses itu, mengingat Ketua MK kala itu, Anwar Usman paman Gibran tidak mengundurkan diri. Forum juga mengutip putusan MKMK yang menyatakan Anwar melanggar kode etik.
BACA JUGA
-
Puan Harap Kebijakan Kenaikan Gaji Hakim Jadi Semangat Jaga Supremasi Hukum
-
Prof Jimly Anggap Wacana Pemakzulan Gibran Tak Kuat Secara Politik
-
Pemakzulan Wapres Perlu Landasan Konstitusi, Bukan Asumsi dan Tafsir Sepihak
-
DPR Gandeng Mahasiswa Untuk Beri Masukan Bahas RUU KUHAP
-
Wapres Gibran Kunjungi Pengungsi Korban Kebakaran Kapuk Muara, Bagikan Sejumlah Bantuan
Tak hanya dari aspek hukum, mereka juga menilai Gibran tidak memenuhi syarat kepatutan dan etika. Forum Purnawirawan menyebut masa jabatan Gibran sebagai Wali Kota Solo terlalu singkat dan mempertanyakan kualitas pendidikannya. Kontroversi akun media sosial “fufufafa” juga ikut disorot sebagai cermin moralitas.
Respon DPR dan MPR
Meski begitu, respon dari parlemen masih cenderung hati-hati. Sekretaris Fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, menegaskan proses pemakzulan tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Prosesnya panjang sekali. Surat boleh dikirim siapa saja, tapi prioritasnya ditentukan oleh Kesetjenan DPR,” ujarnya.
Ketua Fraksi Golkar, Muhammad Sarmuji, menyebut tidak ada alasan hukum untuk memakzulkan Gibran. “Namun, kami tetap terima surat sebagai bentuk aspirasi masyarakat,” katanya.
Senada, Daniel Johan dari PKB menyebut semua surat yang masuk akan dibahas, meski dirinya belum membaca isi surat tersebut secara rinci.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP, Bambang “Pacul” Wuryanto, menyatakan rapat pimpinan MPR akan digelar jika surat tersebut dinilai penting. Namun hingga kini belum ada jadwal rapim terkait hal tersebut.
Pakar hukum tata negara dari UGM, Yance Arizona, menilai desakan pemakzulan ini lebih bersifat politis ketimbang legal. “Argumen hukum mereka belum solid. Ini lebih ke arah spotlight politik,” ujar Yance.
Secara konstitusional, pemakzulan Wapres hanya bisa dilakukan jika terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan, korupsi, atau perbuatan tercela. Prosesnya panjang dan membutuhkan mayoritas politik di DPR dan MPR yang saat ini belum terbentuk.