HOLOPIS.COM, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa pasar Surat Berharga Negara (SBN) di Indonesia masih lebih baik dibanding negara lain, seperti Filipina dan Malaysia.
Sri Mulyani mencatat, SBN Indonesia untuk tenor 10 tahun masih mengalami kenaikan sebesar 17,3 persen secara year to date (ytd), walaupun masih ada capital outflow.
“Seperti Filipina yang naik 42 persen, Meksiko 21 persen, dan Malaysia 20 persen. Kenaikan 17 persen di Indonesia ini relatif lebih baik, karena ditopang kebijakan dan postur fiskal kita yang terus kita komunikasikan secara kredibel dan hati-hati,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan Gubernur Bank Indonesia (BI), Jumat(1/7).
Tercatat, spread SUN IDR bertenor 10 tahunan terhadap UST bertenor sama masih lebih rendah dibandingkan awal tahun ytd, dari yang semula 473 menjadi 417 atau kembali pada tren menyempit.
Menurut Sri Mulyani, Yield SUN IDR 10 tahun mengalami kenaikan sebesar 14,1 persen ytd. Menurutnya, besaran yield tersebut masih lebih baik dibandingkan LCY 10 tahun Meksiko yang mencapai 20,6 persen, Malaysia 18,1 persen, Filipina 49,9 persen, dan AS 104,6 persen.
“Dampak FOMC Meeting di Mei lalu relatif lebih kecil ke yield SBN, turun 1,9 persen,” ungkap Sri.
Lebih lanjut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, bahwa investor hingga kini masih cenderung menghindari risiko alias risk-off dalam menghadapi tekanan global yang semakin bervariatif. Namun secara perlahan, para investor ini mulai masuk kembali ke pasar. Hal itu dapat dilihat dari porsi incoming bids lelang SUN SBSN yang masih terbesar di tenor pendek SPN 40 persen dan SPNS 37 persen.
Kendati demikian, Sri masih mewaspadai tekanan di pasar SBN. Meningkatnya The Fed Funds Rate atau suku bunga acuan AS bisa mendorong kenaikan suku bunga di tahun ini, dengan yield SUN IDR 10 tahunan yang diperkirakan berkisar di 6,81-8,73 persen pada akhir 2022.
“Penyesuaian strategi pembiayaan lanjutan perlu dilakukan untuk menjaga biaya yang efisien dengan risiko terkendali. Meski pasar SBN domestik resilien, perlu dicermati dampak peningkatan cost of fund akibat normalisasi kebijakan moneter,” pungkas Sri.