JAKARTA, HOLOPIS.COM Fraksi partai Gerindra menuding pemerintah terlalu over percaya diri dalam memberikan target pertumbuhan ekonomi tanpa berkaca pada capaian angka pertumbuhan tahun lalu.

Hal tersebut diutarakan fraksi Partai Gerindra DPR lewat juru bicaranya Anggota DPR RI Sri Meliyana pada Rapat Paripurna DPR dengan agenda pandangan fraksi-fraksi atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Tahun 2023, Gedung Nusantara II.

“Kami berpandangan bahwa target tersebut mencerminkan rasa percaya diri yang relatif berlebihan, mengingat tahun 2022 sebagai baseline RAPBN 2023 masih dipenuhi ketidakpastian akibat melonjaknya angka inflasi global, pengetatan moneter oleh bank sentral AS, dan belum redanya tensi geopolitik akibat konflik Rusia dan Ukraina,” kata Meliyana, membacakan pandangan fraksinya.

Target pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah pada kisaran 5,3-5,9 persen dianggap juga tidak akan berhasil dilakukan mengingat pada tahun 2023 pun dipandang masih penuh dengan ketidakpastian akibat inflasi global dan perang Rusia-Ukraina.

Ia melanjutkan, kondisi perekonomian global telah mendorong International Monetery Fund (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022 dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen, dengan inflasi yang diperkirakan meningkat dari 3,9 persen menjadi 5,7 persen untuk kelompok negara maju, dan dari 5,9 persen menjadi 8,7 persen untuk kelompok negara berkembang.

Sementara di dalam negeri sendiri, papar Meliana, pemulihan ekonominya masih belum stabil. Secara tahunan memang sudah menunjukkan tren pemulihan. Namun, secara kuartalan masih mengalami tren penurunan.

“BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 mencapai 3,31 persen (qtq), lalu pada kuartal III-2021 menurun menjadi 1,55 persen (qtq), pada kuartal IV-2021 memperdalam penurunan menjadi 1,06 persen, dan kuartal I-2022 terbenam menjadi -0,96 persen (qtq),” urainya.

Anggota Banggar tersebut juga berpendapat, kontraksi ekonomi pada kuartal I-2022 tidak bisa dilepaskan dari menurunnya konsumsi Pemerintah sebesar -7,74 persen (yoy).

Hal ini patut disayangkan, saat komponen PDB lainnya mencatatkan pertumbuhan positif, konsumsi Pemerintah mengalami kontraksi, sehingga kurang optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kontraksi ekonomi pada kuartal I tampaknya sudah menjadi “tradisi”, bahkan sudah terjadi sebelum adanya pandemi Covid-19.

“Menurut catatan BPS, pada kuartal I-2019 ekonomi terkontraksi -0,52 persen (qtq), kuartal I-2020 terkontraksi -2,41 persen (qtq), kuartal I-2021 terkontraksi -0,94 perseb (qtq), dan kuartal I-2022 terkontraksi -0,96 persen (qtq),” ungkapnya.