Holopis.com JAKARTA, HOLOPIS.COMAnggota Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade buka suara soal keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan kembali ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya. Menurutnya, keputusan tersebut sudah sangat tepat karena dapat menguntungkan semua pihak alias win-win solution.

“Jadi intinya apa, keputusan Presiden kemarin, sekali lagi ini adalah Win-win solution, di satu sisi pemerintah ingin menyelamatkan 16 juta petani sawit, di satu sisi ya pemerintah juga mengeluarkan program baru, yakni Migor (minyak goreng) Rakyat,” kata Andre, Jumat (20/5).

Terkait dengan program MigorRakyat, Andre meyakini program baru tersebut dapat menjamin ketersediaan minyak goreng murah bagi seluruh lapisan masyarakat.

Lebih lanjut, Politisi Partai Gerindra itu mengaku telah mengkonfirmasi, bahwa program yang berada di bawah komando Kementerian perdagangan (Kemendag) bersama Kementerian BUMN akan mendistribusikan minyak goreng curah dengan harga Rp 14.000 di 5.000 titik sampai akhir bulan Mei ini.

“Rencananya ada 10.000 titik yang ID Food, 5.000 titik dan sisanya nanti mungkin ada Bulog dan juga teman-teman swasta lain. Dengan pengawasan aplikasi yang bisa memastikan bahwa harga yang sampai di tangan konsumen atau pembeli itu Rp 14.000 sesuai dengan HET (harga eceran tertinggi) pemerintah,” terangnya.

Andre melihat, jumlah minyak goreng curah yang beredar di masyarakat sudah lumayan banyak saat Presiden memutuskan untuk mencabut kebijakan larangan ekspor minyak goreng ini.

Namun demikian, Indonesia dinilai masih gagal dalam memenuhi harapan rakyat terkait adanya dugaan oligarki di bisnis CPO ini yang tetap melakukan perlawanan dengan berbagai cara.

“Jadi dugaan kami di DPR, di Komisi VI terutama, bahwa memang ada perlawanan dari oligarki-oligarki dan sekali lagi ya oligarki-oligarki menunjukkan kesaktiannya dengan berhasil mencabut peraturan ini tapi dengan apa, diduga menggunakan petani Jadi mereka konsisten agar menurunkan harga TBS (tandan buah segar) sawit,” ungkapnya.

Menurut Andre, ini sekaligus menunjukkan bahwa Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1/ 2018 tidak berjalan efektif.

Hal ini membuat advokasi pemerintah terhadap para petani sawit yang merupakan pihak paling terdampak tidak berjalan efektif karena penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22/2022 tidak diiringi dengan berjalannya Permentan Nomor 1/2018 itu.