JAKARTA, HOLOPIS.COM – Kegaduhan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya dinilai karena Presiden Joko Widodo salah menggunakan diksi saat menyampaikan pengumuman itu. Akibatnya, terjadi kekacauan informasi di tengah masyarakat dan kalangan pengusaha sawit.
Demikian dikatakan mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu merespon adanya perubahan informasi bahwa yang ekspor yang dilarang pemerintah adalah refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein, bukan crude palm oil (CPO).
“Kekacauan kebijakan ekspor CPO dan minyak goreng sebenarnya disebabkan oleh kesalahan diksi yang digunakan Bapak Presiden saat mengumumkan bahwa ‘demi mencapai harga minyak goreng Rp 14 ribu, maka dilakukan larangan ekspor terhadap minyak goreng dan bahan baku minyak goreng’, itu sangat jelas dinyatakan oleh Bapak Presiden,” kata Said Didu, Rabu (27/4).
Secara teknis dan perdagangan, menurut Said Didu, yang dimaksud bahan baku minyak goreng adalah CPO. Namun demikian, saat ini pemerintah meluruskan informasi bahwa yang dilarang untuk diekspor adalah RBD, bukan CPO.
“RBD itu adalah bahan olahan dari CPO menjadi bahan akhir untuk diubah menjadi minyak goreng. RBD adalah memisahkan antara di dalam minyak itu, di dalam sawit itu ada berbagai komponen, dan paling banyak adalah olein, olein itu terdiri dari asam oleat tapi yang paling sering dipisahkan adalah asam stearat yaitu yang dinamakan stearen. Nah stearen ini dipisahkan dengan olein biasanya di minyak sawit,” tukas Didu.
Said Didu menjelaskan, RBD merupakan bahan minyak goreng mentah karena dapat diubah sedikit agar warnanya tidak pucat oleh masing-masing produsen.
“Jadi itu sebenarnya jarang sekali digunakan RBD itu sebagai istilah bahan baku minyak goreng. Itu adalah bahan antara untuk menghasilkan berbagai jenis produk termasuk minyak goreng, termasuk margarin dan lain-lain produk biokimia dari RBD,” tandas Didu.