JAKARTA, HOLOPIS.COM Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menganggap bantuan subsidi upah (BSU) yang akan disalurkan oleh pemerintah kepada 8,8 juta pekerja cenderung diskriminatif.

Jika memang pemerintah memiliki concern untuk membantu pengupahan bagi para buruh di tanah air, yang lebih tepat adalah bagaimana pemerintah mematok standar layak upah yang berlaku secara serentak di seluruh Indonesia.

“Selain diskriminatif, seharusnya pemerintah kalau memang untuk peningkatan kesejahteraan buruh seharusnya membuat standarisasi upah layak secara nasional,” kata Nining kepada Holopis melalui pesan instan, Kamis (7/4).

Di samping itu, tata kelola kebijakan ekonomi juga tidak serta merta dilempar ke mekanisme pasar, sehingga persaingan harga menjadi momok tersendiri bagi masyarakat untuk menekan purchasing power mereka.

“Dan juga bagaimana kebijakan ekonomi tidak diserahkan kepada mekanisme pasar,” imbuhnya.

Nining memberikan argumentasinya bahwa mekanisme BSU tidak akan efektif, karena hanya seolah mencoba mengatasi persoalan hilir saja, padahal persoalan hulunya yakni standarisasi upah tidak diperhatikan serius oleh pemerintah, apalagi disusul dengan kenaikan tarif energi seperti Tarif Dasar Listri (TDL) dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menjadi efek domino pada melambungnya harga komoditas masyarakat secara luas.

“Contoh tahun 2021 dan 2022, sebenarnya tidak ada kenaikan upah karena dalam satu tahun itu menanggung dengan berbagai kenaikan kebutuhan dasar akibat kenaikan listrik, BBM berimbas kebutuhan hidup lainnya,” tuturnya.

Oleh karena itu, ia memandang percuma saja ada BSU jika standar upah buruh di Indonesia tidak beres, sementara banyak harga kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan.

“Kebijakan BSU sebagai peredam gejolak dengan situasi yang dihadapi masyarakat hari ini, kenaikan BBM, kebaikan harga-harga kebutuhan pokok, kenaikan elpiji, PPN, tol termasuk minyak goreng semakin melambung,” pungkasnya.