JAKARTA, HOLOPIS.COM Langkah pemerintah yang menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng dituding hanya untuk menutupi rangkaian kegagalan pemerintah dalam menjaga komoditas masyarakat tetap pada harga yang terjangkau.

Anggota Komisi IV DPR RI Slamet bahkan menilai, berbagai kenaikan harga pangan termasuk minyak goreng karena lemahnya sikap pemerintah terhadap para pengusaha. Menurutnya, pemerintah mempunyai kewenangan tetapi tidak di gunakan untuk menekan para pengusaha dalam memainkan harga.

“Stok menurut kementerian teknis cukup tetapi kenapa harganya naik. Kedua, rakusnya para pengusaha kita yang tidak mau berempati kepada kesusahan rakyat namun mereka hanya memikirkan keuntungan ekonominya saja. Sehingga keduanya ini sangat klop yakni lemahnya pemerintah dan rakusnya para pengusaha sehingga membuat harganya menaik,” kata Slamet, Selasa (5/4).

Dia pun kemudian meyayangkan ketika Presiden Jokowi tidak langsung mengganti Menteri Perdagangan karena kegagalannya tersebut sehingga semakin menunjukkan lemahnya manajerial Presiden ditengah situasi yang tidak begitu kondusif.

“Seharusnya Presiden sudah me-resuffle Menteri perdagangan yang sudah gagal mengantisipasi kelangkaan bahan pangan pokok,” tegasnya.

Mengenai BLT Minyak goreng, Slamet menilai merupakan kebijakan populis untuk menutupi kegagalan pemerintah mengelola pangan. Dikatakannya, berkaca pada semrawutnya pembagian bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19, pengucuran BLT minyak goreng ini juga rentan salah sasaran dan bisa menjadi alat politik sesaat.

“Pemerintah harus memastikan calon penerima BLT ini dapat tepat sasaran. Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan BLT-BLT yang lain, misalnya gas dan BBM yang disaat yang hampir bersamaan mengalami lonjakan yang tidak sedikit,” tukasnya.

Selain itu, sejumlah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sekarang ini dinilai lebih berpihak pada pengusaha dari pada rakyat. Ia menyinggung dua kebijakan pemerintah yang dinilai lebih berpihak pada pengusaha dari pada rakyat. Kebijakan tersebut yaitu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen dan juga perubahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2022 atas PP Nomor 4 Tahun 2016 yang berdampak terhadap petani sebagai rakyat.

“Saya menghimbau kepada pemerintah terkait dengan PPN 11 persen, ternyata ini menyangkut pupuk juga. Karena muncul edaran bahwa penebusan akan menunggu setelah ada penyesuaian dengan PPN 11 persen ini. Kondisi petani kita sudah sulit,” jelasnya.

“Hari ini mau berpihak kemana begitu pemerintah? Saya terus terang, pemerintah hari ini lebih kepada berpihak kepada pengusaha dibanding pada petani,” sambungnya.