JAKARTA, HOLOPIS.COM – Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, bahwa peningkatan populasi mobil listrik berbasis elecric vehicle (EV) menjadi salah satu upaya untuk mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) dan net zero emission (NZE) sesuai target, yakni NDC pada tahun 2030 dan NZE pada 2060.
“Melalui peningkatan populasi mobil listrik, kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Jika tidak ada upaya untuk mengurangi populasi mobil konvensional, maka sektor transportasi akan menyumbang sebesar 0.28 milyar tCO2e/tahun dan 0.86 milyar tCO2e/tahun pada 2060,” papar Mamit dalam keterangan tertulisnya yang diterima Holopis.com, (1/4).
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi melalui ratifikasi Perjanjian Paris yang tercermin dalam UU No 16/2016.
Dalam perjanjian tersebut, Indonesia diharuskan untuk menguraikan dan mengkomunikasikan aksi dalam ketahanan iklim pasca 2020 yang dalam dokumen Kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC). Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk mencapai NZE pada 2060 yang akan datang. Untuk mencapai target tersebut, tentu membutuhkan upaya yang tidak mudah serta komitmen yang kuat oleh Pemerintah Indonesia.
Menurut Mamit, salah satu upaya yang dapat ditempuh pemerintah untuk mencapai target tersebut adalah dengan meningkatkan populasi mobil listrik di Indonesia.
Ia mengatakan, peningkatan populasi tersebut akan menimbulkan beberapa hal yang bisa menguntungkan Indonesia, salah satunya yakni emisi gas rumah kaca yang berkurang secara signifikan.
Mamit menjelaskan, bahwa 1 liter bahan bakar minyak (BBM) dengan jarak tempuh 10 kilometer, maka akan dihasilkan 2,6 kilogram karbon dioksida (CO2).
Sementara jika menggunakan mobil listrik jumlah senyawa CO2 yang dihasilkan lebih sedikit, yakni hanya 1,27 kilogram CO2 untuk pemakaian 1 kWh dengan jarak tempuh 10 km.
“Selain dari emisi CO2 yang dihasilkan lebih sedikit, biaya yang dikeluarkan untuk 1kWh hanya sebesar Rp 1.500 setara dengan 1 liter BBM seharga Rp 12.500. Jadi, harganya lebih murah dan masyarakat bisa lebih berhemat,” ujarnya.
Tak hanya itu, kata Mamit, manfaat lain dari peningkatan populasi mobil listrik juga bisa mengurangi beban impor BBM yang saat ini jumlahnya sangat signifikan.
“Dengan meningkatnya mobil listrik, maka kita bisa mengurangi impor bbm baik itu produk maupun minyak dimana saat ini kesenjangannya sangat jauh sekali. Saat ini produksi minyak dalam negeri hanya di angka kurang lebih 700 ribu BOPD sedangkan konsumsi BBM nasional sudah mencapai 1.4 juta BOPD. Hal ini akan meningkatkan defisit neraca perdagangan semakin lebar,”urai Mamit
Mamit mengatakan, jika impor BBM terus berlanjut dengan skala yang besar dan masif dikhawatirkan membuat mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) semakin tertekan dan memicu terjadinya inflasi akibat kenaikan harga barang karena pelemahan mata uang rupiah ini.
Untuk itu, Mamit menilai, bahwa perlu adanya dukungan yang kuat dari pemerintah agar mobil listrik ini terus meningkat jumlahnya.
Adapun permasalahan dari upaya tersebut, lanjut Mamit, adalah harga mobil listrik yang saat ini masih tergolong mahal serta desainnya yang belum bersahabat bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia menurut dia, lebih menyukai mobil berjenis MPV dengan konfigurasi bangku yang banyak. Sehingga dapat memuat penumpang dengan jumlah yang lebih banyak.
“Perlu adanya kebijkan fiskal agar mobil listrik bisa menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat. Selain itu, jika memungkikan pemerintah bisa memberikan stimulus bagi masyarakat yang akan membeli mobil listrik sehingga semakin menarik untuk menggunakan mobil listrik,”pungkasnya