M
enurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian seseorang yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah “anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan saksi tindak pidana”. Dilanjutkan pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun”.
Anak merupakan warga Negara, maka ada hak yang melekat dan harus dilindungi pada diri mereka sejak mulai lahir hingga meninggal. Mengenai hak anak, Setya Wahyudi menyatakan bahwa berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak 1989 (Resolusi PB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989), hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak yaitu: hak untuk kelangsungan hidup (the right to survival), hak untuk tumbuh kembang (the right to develop), hak untuk perlindungan (the right to protection), dan hak untuk partisipasi (the right to participation).
Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sejak tahun 2011 sampai 2019, jumlah kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang dilaporkan mencapai 11.492 kasus, kemudian data dari Direktoral Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) per 13 Maret 2022, jumlah narapidana/tahanan anak sebanyak 2.762 anak. Lantas bagaimana upaya perlindungan hukum terhadap anak berhadapan dengan hukum?
Pertama, perlindungan terhadap anak pelaku ialah pada proses peradilan pidana anak hak-hak anak harus mendapatkan perlindungan dari setiap tingkatan, perlindungan tersebut diberikan sebagai salah satu bentuk penghormatan hak asasi anak. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ini mengalami perubahan yang mendasar yakni pengaturan secara tegas mengenai “keadilan restoratif dan diversi”. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Kedua, perlindungan terhadap anak korban penanganan harus ditangani secara khusus baik represif maupun tindakan preventif demi menciptakan masa depan anak yang baik dan sejahtera. Dalam UU SPPA Pasal 1 ayat (4) menyatakan bahwa “anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana”.
Selanjutanya pada Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa “Anak korban dan Anak saksi berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga”. Selain hak-hak tersebut, terdapat beberapa hak anak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan media dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Ketiga, perlindungan terhadap anak saksi, disebutkan dalam UU SPPA Pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa “anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengan, dilihat dan/atau dialaminya sendiri”. Pada Pasal 89 disebutkan bahwa anak korban dan/atau anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak anak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada intinya upaya perlindungan hukum terhadap anak berhadapan dengan hukum merupakan bentuk perlakuan yang memperhatikan proses-proses dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan dan bukan membuat nilai kemanusiaan anak menjadi lebih rendah.