JAKARTA, HOLOPIS.COMEkonom dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi menilai bahwa secara prinsip terbaik bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) sebenarnya sudah sesuai, di mana uang yang diiur dari para pekerja akan menjadi nilai manfaat untuk mereka sendiri.

Akan tetapi di dalam praktiknya, ternyata ada persoalan ketika Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) diterbitkan oleh Ida Fauziyah.

“Dalam implementasinya kita ini (JHT) tidak sesuai dengan best practice,” kata Fithra dalam talkshow Ruang Tamu Holopis dengan tema “Buruh Menjerit Liat Permenaker Nomor 2 Tahun 2022”, Jumat (18/2).

Ia menilai bahwa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang menjadi program pemerintah tidak boleh dijadikan dalih untuk menggantikan manfaat JHT, apalagi sampai menjadikan alasan agar JHT tetap dipaksakan untuk bisa dicairkan di usia 56 tahun saja.

“Saya setuju nanti dalam aturan turunan UU Cipta Kerja ada JKP yang menurut pemerintah akan melengkapi dari sistem sebelumnya, misal ada pesangon, jaminan-jaminan yang mana sumber dananya dari komposisi dan seterusnya. Tapi tidak juga (bisa digunakan untuk) menunda JHT,” terangnya.

Benefitnya JKP bukan untuk menggantikan JHT. Fithra menyebut bhawa ada sebuah konsep present value of money.

“Jika disuruh memilih mau nerima (uang) sekarang, ya secara rasional tanpa perlu belajar ekonomi pun akan memilih sekarang, karena kebutuhan kita kan sekarang, bukan masa depan,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa jika HJT diterima nanti di usia 56 tahun, ada kecenderungan terjadi perubahan nilai terhadap nominal uang yang menjadi hak masyarakat. Hal ini karena adanya pergerakan inflasi.

“Kalau kita terima nanti maka akan kemakan inflasi. Ada semacam depresiasi nilai dari sepanjang waktu yang dimakan inflasi, jadi kemampuan uangnya pasti berbeda dari sekarang dengan nanti,” paparnya.

Masyarakat kecil menengah butuh uang

Fithra menyebut, bahwa ada semacam gap yang terjadi sepanjang pandemi. Yang terjadi adalah jumlah tabungan kelompok masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas yakni yang memiliki tabungan di atas Rp5 miliar cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi jumlah tabungan di bawah Rp100 juta justru mengalami penurunan.

Lebih lanjut, Fithra mengatakan bahwa saat ini masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah adalah orang-orang yang sangat terdampak dari pandemi Covid-19. Ekonomi mereka fluktuatif dan cenderung mengalami penurunan akibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun kehilangan pendapatan lainnya.

“Kelompok menengah ke bawah ini mengalami cashflow. Selama pandemi mereka terjadi PHK dan sebagainya, bahkan mereka kehilangan pendapat,” papar Fithra.

“Jadi selama mereka menganggur mereka harus survive, salah satunya adalah menerima manfaat-manfaat yang secara rutin mereka telah bayarkan untuk didapat sekarang. Itu akan jadi bantalan ekonomi mereka,” imbuhya.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) tidak usah mengubah-ubah aturan terkait dengan JHT. Sebaiknya menurut Fithra, regulasi JHT dikembalikan lagi kepada aturan sebelumnya.

“Seharausnya JHT ini gak usah macam-macam lah, kita kembalikan saja ke Permen 19 tahun 2015. Gak usah diubah-ubah lagi. Karena kita bicara prinsip mikro dan makro ekonomi ini bahkan kita masukkan kontekstualisasi ekonomi politiknya, ini hanya membuat kegaduhan. Jadi kembalikan saja ke asalnya,” pungkasnya.