JAKARTA, HOLOPIS.COM – Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta memberikan respon terkait adanya asumsi beberapa kalangan yang menyebut, bahwa terorisme adalah agenda dan proyek intelijen seperti BNPT dan Densus 88 Antiteror.
Menurutnya, asumsi tersebut tidak kuat dan solid. Karena di dalam penanganan terorisme, fakta dan bukti sangat lengkap. Bahkan proses peradilannya di Indonesia pun sangat terbuka, semua orang bisa melihat prosesnya dari awal sampai akhir.
“Hanya Indonesia saja yang menyelenggarakan peradilan terbuka soal kasus terorisme. Dan juga tidak ada satupun yang dikatakan tidak bersalah,” kata Stanislaus, Rabu (16/2).
Di dalam webinar dengan tema “Menilik Radikalisme dan Menakar Kebebasan Berekspresi di Ruang Publik” yang diselenggarakan oleh Pemuda Moeslim Jakarta (PMJ) itu, Stanislaus mempersilakan kepada mereka yang mengasumsikan bahwa terorisme adalah proyek inteljen semata, untuk membawa bukti-bukti kuatnya di persidangan.
“Silakan bawa bukti-bukti kuat bahwa terorisme adalah agenda intelijen belaka. Toh persidangannya terbuka kok, semua orang bisa mengaksesnya,” tuturnya.
Lebih lanjut, alumni Sekolah Tinggi Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) tersebut mengatakan, bahwa orang-orang yang menganggap bahwa terorisme hanya sekedar proyek intelijen adalah mereka yang termakan informasi dari pola post truth.
Post Truth adalah sebuah informasi yang dipercaya seseorang atas dasar kesukaan belaka kepada pemberi informasi atau komunikator, walaupun informasi itu tidak benar adanya. Sementara informasi yang diberikan oleh orang atau pihak yang tidak disuka, sekalipun benar adanya tetap tidak diterima.
“Orang yang mengatakan terorisme ini rekayasa, ada dua hal. Karena propaganda atau karen post truth. Karena dia kagum maka dia menganggap tokoh teroris itu nggak salah, kalau yang nggak disuka ya dianggap salah,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk meluruskan pemahaman semacam itu di kalangan masyarakat, ia berharap pers memberikan informasi yang benar terkait dengan terorisme, sehingga tidak menggeser esensi dari terorisme dan penanggulangannya.
“Sekarang, garda terdepan adalah wartawan untuk menunjukkan kebenaran dan melawan hoaks,” tegasnya.
Pendukung radikalisme dan terorisme
Lebih lanjut, Stanislaus Riyanta menilai bahwa pihak-pihak yang pertama kali mendistribusikan framing bahwa radikalisme dan terorisme adalah agenda intelijen dan pemerintah yang islamophobia adalah mereka yang sebenarnya mendukung kelompok tersebut. Karena popularitas mereka di dunia digital sehingga banyak yang mengamini begitu saja.
“Ini ya bagian dari pendukung teroris saja yang mengatakan seperti itu. Kalau memang ada bukti meringankan dan rekayasa ya maju saja (ke pengadilan). Kalau berani dan memang punya bukti ya bilang saja,” pungkasnya.