JAKARTA, HOLOPIS.COM Sekretaris Jenderal Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), Sabda Pranawa Djati ikut berkomentar terkait dengan polemik terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Dimana di dalam Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tersebut terjadi perubahan persyaratan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), yang baru dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun.

Menurut Sabda, pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan terkesan panik, sehingga memaksakan perubahan regulasi terkait dengan syarat usia 56 tahun untuk klaim JHT. Hal ini karena jumlah kasus dan pembayaran klaim JHT terbanyak berdasarkan kategori sebab klaim didominasi karena mengundurkan diri (55%) dan pemutusan hubungan kerja (36%). Sedangkan usia pensiun hanya 3% dari total kasus klaim JHT. Data tersebut ia klaim berasal dari BPJAMSOSTEK.

“Kami menduga bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak profesional dalam mengelola dana nasabahnya, kemudian berlindung kepada Pemerintah dengan memaksakan terbitnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022,” kata Sabda, Minggu (13/2).

Ia juga menduga, bahwa BPJS Ketenagakerjaan tidak memiliki dana yang cukup dari pengembangan dana peserta. Sehingga berpotensi gagal bayar terhadap hak-hak pekerja yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Kemudian, Sabda juga mengulas pada regulasi yang ada, yakni UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dimana berdasarkan uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU tersebut tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Peserta’ adalah orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.

Artinya kata Sabda, pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘Peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran.

“Sehingga tidak ada alasan bagi Pemerintah ataupun BPJS Ketenagakerjaan untuk menahan dana milik peserta yang sudah tidak lagi menjadi peserta, karena telah berhenti bekerja dan berhenti membayar iuran,” ujarnya.

Oleh karena itu, ketika pemerintah maupun BPJS Ketenagakerjaan membuat aturan yang bisa menghalangi masyarakat mendapatkan manfaat JHT tersebut, maka itu adalah bagian dari bentuk arogansi kekuasaan.

“Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan justru bertindak arogan dan semena-mena jika menahan dana milik peserta yang sudah tidak lagi menjadi peserta,” tandasnya.

Bagi Sabda, para pekerja yang mengundurkan diri atau di-PHK, sudah dipastikan akan berhenti membayar iuran, kecuali yang mendapatkan pekerjaan di perusahaan lain yang kemudian melanjutkan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaannya.

“Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 sebagai Revisi Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 yang mengatur klaim JHT dapat dicairkan apabila peserta mencapai usia pensiun (56 tahun), mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia, adalah peraturan yang keblinger,” ucapnya.

Lebih lanjut, di tengah sulitnya mendapatkan pekerjaan baru, Sabda mengatakan bahwa susah seharusnya dana JHT bisa dipergunakan untuk modal usaha oleh pekerja yang mengundurkan diri atau terkena PHK, bukan malah ditahan oleh Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan.

“ASPEK Indonesia mendesak Pemerintah untuk membatalkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022, dan kembali pada Permenaker Nomor 19 tahun 2015,” tuntutnya.

Alasan mengapa ASPEK Indonesia mendesak Menteri Tenaga Kerja mengembalikan ke regulasi sebelumnya, karena di dalamnya mengatur pola main distribusi JHT bisa dicairkan tanpa mengunggu seseorang usia 56 tahun.

“Dalam Permenaker Nomor 19 tahun 2015, manfaat JHT dapat dicairkan untuk pekerja yang berhenti bekerja, baik karena mengundurkan diri maupun karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), yang dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pengunduran diri atau tanggal PHK,” pungkasnya.