JAKARTA, HOLOPIS.COM – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon mendukung Pulau Penyengat di Provinsi Kepulauan Riau menjadi tempat bersejarah atau monumen lahirnya Bahasa Melayu sebagai cikal-bakal lahirnya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia.
Sebab, di pulau tersebut terdapat makam Raja Haji Ali, yang selain sebagai Pahlawan Nasional, juga perumus konseptualisasi Bahasa Melayu dengan ragam-ragam buku dan karya sastra yang ditulis olehnya.
“Buku-buku yang ditulis Beliau di abad 19, menunjukkan bahwa secara historis sulit dibantah. Yang kemudian ada Van Ophuijsen juga memuat tulisan tentang Bahasa Melayu itu juga berdasarkan awalnya dari Raja Haji Ali. Salah satu karya sastra yang terkenal juga ada Gurindam 12,” ujar Fadli Zon seperti dilansir dari dpr.go.id, Minggu (13/2).
Selain terdapat makam Raja Haji Ali, di pulau yang luasnya kurang lebih 2 kilometer persegi ini, juga terdapat beberapa sastrawan, pujangga, budayawan Melayu lainnya. Serta Pulau Penyengat sebagai pusat Kerajaan Lingga pada tahun 1900. Sehingga, pulau tersebut lengkap sebagai pusat pemerintahan, adat-istiadat, agama Islam, dan kebudayaan Melayu.
“Saya kira penting bagi generasi penerus untuk memahami bahwa Bahasa Indonesia yang jadi Bahasa Persatuan dalam Sumpah Pemuda itu, berinduk dari Bahasa Melayu dan juga mengacu apa yang dikembangkan oleh Raja Haji Ali di pulau ini,” tambah Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini.
Karena itu, jika Pulau Penyengat memiliki monumen bersejarah, masyarakat luas akan memahami simbol persatuan yang berasal dari Bahasa Melayu yang kemudian menjadi Bahasa Indonesia. “Sehingga di Pulau Penyengat ini tempat lahirnya Bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji,” ujar Anggota Komisi I DPR RI tersebut.
Diketahui, kunjungan kerja Fadli Zon ke Kepri ini, adalah dalam rangka untuk persiapan pembentukan Asosiasi Anggota Parlemen Berbahasa Melayu (AAPBM) atau Association of Parliamentarians Malay Speaking.
Dengan harapan Jika inisiatif BKSAP DPR RI untuk menjadikan Bahasa Melayu dapat diterima oleh negara-negara di dunia yang bertutur Melayu lalu terbentuk asosiasinya, sehingga Bahasa Melayu tersebut dapat digunakan di forum-forum internasional.
“Misalnya bisa menjadi observer dalam IPU nanti, bisa digunakan dalam bahasa kerja di AIPA. Sekarang ini dalam pertemuan parlemen negara-negara ASEAN masih gunakan Bahasa Inggris, kenapa tidak dalam IPU atau AIPA misalnya kita gunakan Bahasa Melayu?” tegas Fadli.