Pada hari pertama bulan Februari 2021, dalam sebuah konferensi pers kepada publik, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), ketua umum partai Demokrat, menyampaikan bahwa partai yang dipimpinnya sedang ‘diganggu’. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada manuver politik ‘bawah tanah’ yang sedang terjadi yang ingin mengambil alih partai yang sedang dipimpinnya. AHY juga menjelaskan bahwa manuver ini melibatkan pejabat penting Istana.
Selanjutnya, sebagaimana kita tahu, semakin kemari, rangkaian peristiwa ini semakin menyita perhatian publik. Melalui dramaturgi politik yang terjadi -yang sebetulnya internal, tetapi berubah menjadi komoditas yang bisa dikonsumsi publik- partai Demokrat terus menerus dibicarakan dalam nuansa konfliktual. Mulai dari pemecatan anggota, sindir menyindir antar elit hingga saling lapor ke kepolisian.
Tiga puluh dua hari kemudian, melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan di Deli Serdang, Sumatera Utara, rencana agar partai Demokrat memiliki ketua umum baru benar – benar dibicarakan. Sebagaimana prediksi, Kepala Kantor Staff Kepresidenan (KSP) Republik Indonesia, Moeldoko, adalah elit yang lantas didaulat peserta kongres untuk mengisi posisi itu. Singkat cerita, meski hanya lewat telepon karena sedang berada di Jakarta, Moeldoko menerima permintaan tersebut.
Peristiwa ini lantas menenggelamkan partai Demokrat ke dalam carut marut konflik internal. Sebagian besar kader masih dan terus mengakui AHY sebagai ketua umum. Tetapi faktanya, ada sebagian kecil oknum yang menginginkan Moeldoko tampil ke permukaan. Kelompok pro-AHY berpegang teguh pada aspek legal. Sementara kelompok pro-Moeldoko terus menerus menyuarakan “aspirasi kader”.
Di Indonesia, situasi sulit semacam ini sudah pernah terjadi pada partai lain. Mengikuti keumuman pola konflik yang terjadi, partai Demokrat hampir pasti akan mengalami situasi yang kongruen, yang dimulai dari munculnya dualisme kepemimpinan. Setelah itu, kedua kubu akan bertempur di ranah wacana, hukum dan politik. Di ranah wacana, kedua pihak akan bertempur untuk meyakinkan opini publik. Di ranah hukum, kedua pihak akan bertempur untuk meyakinkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Sementara di ranah politik, kedua pihak akan melakukan negosiasi yang kelihatan dan tidak kelihatan. Di semua ranah itu, mereka akan bertempur untuk mendapatkan legitimasi atas predikat “pengurus yang sah”.
Konflik partai Demokrat, juga konflik partai lain di waktu sebelumnya, lantas menghasilkan satu fenomena politik yang mendorong analis untuk melakukan kajian dari berbagai sudut pandang. Misalnya dari sudut pandang legal-non legal yang begitu sering digunakan. Atau sudut pandang institusi-personal. Atau sudut pandang masa lalu-masa kini. Atau sudut pandang populer lainnya. Namun demikian, melalui tulisan ini, saya ingin menyajikan sudut pandang yang berbeda untuk memberi kerangka atas terjadinya konflik partai. Yaitu bahwa, konflik partai bukan lagi hanya linear, melainkan juga meneguhkan penyimpangan fungsi partai. Bergeser dari fungsi sebelumnya sebagai representator kepentingan publik, menjadi tidak lebih dari fungsi eksklusif untuk melayani elit.
Fungsi Partai Politik
Partai politik, menurut berbagai sumber, lahir pada akhir abad ke-18 di Eropa Barat. Ia muncul sebagai konsekuensi dari menguatnya ‘perwakilan publik’ sebagai salahsatu ide yang menyusun konsep besar demokrasi. Fungsi partai politik lantas mengalami perluasan makna dari waktu ke waktu.
Pertama, fungsi dasar. Pada awalnya, partai politik bergerak dari bawah ke atas (bottom-up). Ia adalah organisasi yang sedemikian substantif karena mampu membawa, sekaligus mengawal, kepentingan demos (rakyat), lalu menyampaikannya kepada kratos (pemerintah). Besar harapan, partai politik mampu mempengaruhi pemerintah untuk memproduksi keputusan yang berpihak pada hajat hidup rakyat banyak.
Kedua, artikulasi dan agregasi. Pada periode ini, fungsi partai politik telah berkembang dari fungsi dasarnya. Ia telah menjadi artikulator sekaligus agregator kepentingan. Artinya, partai politik adalah aktor yang justru lebih aktif merumuskan kepentingan rakyat daripada rakyatnya itu sendiri. Partai tidak lagi hanya menunggu rakyat menyampaikan kebutuhannya. Sebaliknya, inisiatif partai sedang tinggi – tingginya.
Ketiga dan seterusnya, fungsi top-down. Tak cukup sampai artikulasi dan agregasi, partai politik kembali mengalami transformasi konstruktif. Jangkauan fungsi partai politik menjadi jauh lebih luas. Pada periode ini, partai politik bukan lagi hanya menggaungkan fungsi bottom-up, melainkan juga top-down. Secara top-down, utama sekali, partai berfungsi sebagai komunikator politik. Di dalamnya, ia merekrut rakyat untuk berpartisipasi dalam semesta sistem politik. Sebagaimana kita tahu, rekruitmen politik adalah agenda penting agar sirkulasi kekuasaan bisa berlangsung terus menerus.
Fungsi – fungsi itu masih dan terus berkembang secara kontinual. Dampaknya, seiring berjalannya waktu, partai menjadi entitas politik yang digemari oleh rakyat atas kombinasi fungsi top-down dan bottom-up nya. Partai adalah jembatan bagi jauhnya jarak rakyat dan status quo. Partai sedang menjadi ejawantah dari harapan rakyat yang bertugas untuk memastikan agar pemerintah bekerja untuk perwakilannya. Partai juga masih menjadi entitas yang mampu menjalankan fungsi – fungsinya secara ideal, baik substantif maupun ideologis.
Namun demikian, perkembangan fungsi partai politik yang konstruktif sampai juga pada titik jenuhnya. Hal ini terjadi, salahsatunya, karena proses pendirian partai politik yang sangat mudah. Akibatnya, jumlah partai politik menjadi terlalu banyak. Padahal, partai politik bertujuan untuk meraih kekuasaan yang terbatas. Di sinilah masalahnya; partai dalam jumlah banyak, harus bersaing begitu kerasnya untuk mencapai kekuasaan yang sedikit. Konsekuensinya, partai politik harus menggunakan segala cara untuk memenangkan persaingan elektoral, termasuk di dalamnya adalah menempatkan elit sebagai figur daya tarik.
Masalahnya, di waktu selanjutnya, elit tidak lagi hanya menjadi figuran politik. Lebih lanjut, elit memproduksi peran yang lebih signifikan karena telah menjadi bagian inheren dari partai politik. Fenomena ini tentu berimplikasi pada maksud dan tujuan partai politik itu sendiri. Jika pada awalnya partai politik didirikan atas alasan substantif, lalu ideologis, maka kita tidak bisa menghindar dari realitas hari ini di mana partai politik didirikan untuk alasan yang personal. Misalnya, partai politik yang didirikan dalam fungsi sempitnya hanya sebagai kendaraan bagi elit untuk lebih cepat mencapai kekuasaan formal.
Partai Elitis
Sebagaimana kita ketahui, modernisasi sistem politik menghasilkan sejumlah kelompok yang bisa mengakses sumber – sumber kekuasaan eksklusif, yang lantas kita sebut sebagai elit, yang di saat bersamaan juga punya political will untuk memapankan kekuasaan. Padahal, kekuasaan membutuhkan legitimasi. Untuk itulah elit perlu ‘memiliki’ partai politik. Selain untuk alasan administrasi agar lolos verifikasi, elit juga membutuhkan partai politik untuk alasan legitimasi dari basis massa yang eksplisit. Ringkasnya, melalui partai politik, elit akan mampu menghimpun massa, mencapai kekuasaan formal lalu mencapai ‘swasembada’ sumber daya.
Namun demikian, nikmatnya kekuasaan yang dituju membuat elit satu dengan lainnya tidak ingin ‘berbagi kapal’. Sebaliknya, elit memilih untuk saling bersaing. Saling berhadapan. Saling mengalahkan. Akibatnya, muncul kategori partai politik yang didominasi elit. Dalam perkembangannya, kita mulai biasa mendengar topik seputar partai politik yang terkait dengan oligarki, politik dinasti, patronase, hingga ‘partai perusahaan’ yang semuanya adalah cabang dari istilah-istilah elitis.
Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar partai politik hari ini, memperlakukan rakyat hanya sebagai voter. Artinya, partai berkeperluan untuk menemui rakyat hanya ketika sedang berjuang untuk memenangkan pemilu. Sebaliknya, setelah berhasil menguasai parlemen, partai akan kembali pada karakternya sebagai sub-ordinat elit. Alih-alih menjalankan fungsi – fungsi substantif, partai politik justru sibuk menjalankan fungsi-fungsi elitis.
Persoalan semakin rumit ketika partai – partai elitis tersebut menyusun sistem kepartaian dan sistem politik sekaligus. Alih – alih memikirkan bagaimana masyarakat menemukan kehidupan yang makmur dan sejahtera, partai – partai ini justru bergerak dalam circle yang begitu sempit untuk memberi benefit kepada elit. Akibatnya, sistem kepartaian dan sistem politik kita hanya direpresentasikan oleh elit. Seolah – olah, partai hanya tentang elit.
Pelajaran Dari Demokrat : Penegasan Elit
Dengan menggunakan cara pandang elitis sebagaimana telah padat saya sampaikan pada bagian sebelumnya, konflik partai Demokrat yang baru saja terjadi menjadi mudah untuk kita rangkai. Kita bisa mulai dari; sebesar apapun persoalannya, sebenarnya konflik partai adalah konflik elit. Atau dengan kata lain, konflik ini tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan aspek kesejahteraan rakyat.
Dalam kasus partai Demokrat, kita bisa bongkar konstruksinya secara sederhana; bahwa ada kelompok elit yang berusaha mempertahankan kekuasaan, sementara kelompok elit lainnya berusaha merebut kekuasaan. Lepas dari konstitusional atau tidak prosesnya, relasi ini hanya bergerak di ranah elit. Benar – benar dari, oleh dan untuk elit.
Inilah yang saya sebut sebagai penyimpangan fungsi partai politik. Partai, yang dari periode ke periode pernah memproduksi fungsi – fungsi substantif dan ideologis, telah terkooptasi menjadi kendaraan elit, yang kalau toh dibicarakan, hanya tentang elitnya. Partai politik sedang begitu jauh dari fungsi idealnya sebagai entitas ‘milik publik’. Sebaliknya, partai politik sedang menjadi entitas ‘elit-sentrik’ yang sempurna.
Mestinya, partai politik adalah harapan. Sanggup menjadi entitas yang bekerja secara lebih substantif dan ideologis. Kembali menjadi organisasi yang berkenan untuk melakukan kerja-kerja bottom up dan top down untuk membawa dan mengawal aspirasi demos. Tetapi konflik partai Demokrat yang baru saja terjadi, justru semakin menegaskan bahwa jarak antara partai politik dan rakyat masih sedemikian lebar. Mestinya; sebesar apapun persoalannya, partai harus mampu menyelesaikannya dengan lekas. Dengan demikian, partai jadi punya waktu lebih banyak untuk membicarakan rakyat.
Dari Konflik Partai Demokrat Kita Belajar, Bahwa Partai Masih Elitis
Temukan kami juga di Google News lalu klik ikon bintang untuk mengikuti. Atau kamu bisa follow WhatsaApp Holopis.com Channel untuk dapatkan update 10 berita pilihan dari redaksi kami.