HOLOPIS.COM, JAKARTA – Fonder Restorasi Jiwa Indonesia (RJI) Syam Basrijal mengatakan bahwa perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) saat ini kian masif dan merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan manusia.
Mulai dari dunia kerja, pendidikan, hingga relasi personal, AI hadir menawarkan kecepatan, efisiensi, dan kemudahan yang sebelumnya tak terbayangkan. Hanya saja ada pertanyaan besar yang muncul dan sangat mendasar menurut Syam Basrijal, yakni apakah AI sedang dikendalikan manusia, atau justru sebaliknya.
“Di balik kemajuan itu, muncul pertanyaan yang lebih mendasar, apakah manusia sedang memimpin teknologi, atau justru perlahan menyerahkan kendali hidupnya?,” kata Syam Basrijal dalam paparannya di Jakarta, Selasa (30/12/2025).
Untuk menyikapi pertanyaan besar itu, Syam Basrijal memberikan paparan tentang kesadaran holistik dalam menyikapi dan merespons masifnya perkembangan teknologi AI tersebut.
“Dalam perspektif Restorasi Jiwa, AI sesungguhnya berfungsi layaknya cermin berteknologi tinggi,” ujarnya.
Sebab, AI dalam praktiknya hanya mempelajari bagaimana manusia berbicara dalam bahasa, bersikap, dan berpikir. Layaknya perintah komputasi, ia hanya menjalankan perintah program, tidak ada kehidupan dan perasaan yang nyata di sana.
“Seperti cermin pada umumnya, AI tidak memiliki kehidupan di balik pantulan itu. Ia tidak berjiwa, tidak memiliki kesadaran, dan tidak memahami makna dari apa yang dipantulkannya,” terangnya.
Sehingga jika semua pihak bisa memahami konsep fundamental tersebut, maka seseorang akan lebih bijak dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan teknologi kecerdasan buatan tersebut. Mereka tidak akan bisa dikendalikan oleh AI, apalagi mempengaruhi seluruh kesadaran jiwa.
“Di sinilah letak tantangan terbesar manusia hari ini—bukan pada kecanggihan AI, melainkan pada kecenderungan manusia menggantungkan arah hidupnya pada sesuatu yang tidak memiliki pusat kesadaran,” tegas Syam Basrijal.
Dalam konteks transformasi diri sejati, sebenarnya tidak dimulai dari teknologi, melainkan dari keberanian bertanya pada diri sendiri. Apa yang sebenarnya dicari dari AI, Apakah sekadar efisiensi, pengakuan, pelarian dari kehampaan, atau harapan akan jawaban hidup?.
“Dalam praktik sehari-hari, tak sedikit orang menggunakan AI untuk menunda perjumpaan dengan kegelisahan batin, menghindari kesepian, atau menumpulkan kebutuhan untuk mengambil keputusan penting. Padahal, AI hanya mampu menyusun kata dan mengolah data; ia tidak pernah bisa mengisi ruang makna yang kosong di dalam diri manusia,” tuturnya.
Dengan demikian, kesimpulan besar yang disampaikan Syam Basrijal adalah, bahwa kesadaran holistik hanya akan menempatkan AI pada posisi yang proporsional, yakni sebagai alat bantu, bukan pengganti kehadiran diri.
Ketika AI mempercepat penyelesaian tugas-tugas manusia, waktu yang tersisa seharusnya menjadi ruang untuk memperdalam kualitas hidup, bukan justru menambah distraksi baru.
“Kualitas hidup tidak diukur dari seberapa cepat pekerjaan selesai, melainkan dari seberapa utuh manusia hadir dalam relasi, kesehatan, dan arah batinnya,” tandasnya.
Lebih lanjut, Syam Basrijal pun mewanti-wanti agar manusia tidak pernah menjadikan AI sebagai alat satu-satunya untuk mencapai tujuan. Melainkan tetap menempatkan porsi yang lebih tinggi dan lebih banyak bagi kesadaran manusia alami untuk mencapai tujuan tersebut.
“Di era AI, kemenangan sejati bukanlah tentang mengalahkan mesin atau menjadi lebih pintar darinya. Kemenangan adalah kemampuan manusia untuk tidak kehilangan dirinya sendiri,” pungkas Syam Basrijal.



