HOLOPIS.COM, JAKARTA – Serikat Petani Indonesia (SPI) secara resmi menyerahkan surat permohonan kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto terkait permohonan penetapan status Bencana Nasional atas bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Ketua Umum SPI Henry Saragih menegaskan, bahwa permohonan penetapan status Bencana Nasional justru merupaan langkah penguatan negara.
“Penetapan Bencana Nasional adalah instrumen konstitusional yang sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007,” kata Henry Saragih dalam keterangan persnya yang diterima Holopis.com, Selasa (30/12/2025).
Dalam kesempatan tersebut, ia juga menekankan bahwa penetapan status bencana nasional kepada Sumatra atas bencana akibat kerusakan ekologi tersebut tidak menjadi ajang untuk membuka intervensi asing, akan tetapi mempercepat pemulihan kebencanaan yang kini masih menyulitkan masyarakat Aceh, Sumut dan Sumbar.
“Ini bukan soal membuka ruang intervensi asing, tetapi memastikan negara hadir secara penuh, terkoordinasi, dan berdaulat untuk melindungi rakyatnya, terutama petani kecil yang selalu menjadi kelompok paling rentan,” tegasnya.
SPI juga menilai bahwa kekhawatiran terhadap isu kedaulatan dapat dijawab melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) yang tegas, berpihak pada rakyat, dan memastikan seluruh penanganan bencana berada di bawah kendali negara.
“Dengan cara ini, mobilisasi sumber daya nasional dapat berjalan optimal, bantuan internasional, jika ada, berada sepenuhnya di bawah kontrol negara, dan pemulihan kehidupan petani serta masyarakat desa ditempatkan sebagai prioritas utama kebijakan,” ujar Henry.
Melalui surat resmi ini, SPI memohon dengan tegas kepada Bapak Presiden RI, Prabowo Subianto Djojohadikusumo untuk menetapkan bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai Bencana Nasional, dalam rangka untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, mengoptimalkan mobilisasi sumber daya negara, serta mempercepat pemulihan kehidupan petani dan masyarakat desa secara adil dan menyeluruh.
Penyerahan surat dilakukan pada hari Selasa 30 Desember 2025 sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik organisasi petani dalam menyuarakan kondisi darurat yang dialami petani kecil dan masyarakat pedesaan di wilayah terdampak.
Dalam surat tersebut, SPI menyampaikan perhatian dan keprihatinan yang sangat mendalam atas dampak kemanusiaan yang ditimbulkan sejak akhir November 2025 hingga saat ini. Berdasarkan data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 28 Desember 2025, tercatat 1.138 orang meninggal dunia, 163 orang masih hilang, serta sekitar 449.846 jiwa mengungsi.
“Bencana ini telah meluas ke 52 kabupaten/kota di tiga provinsi, menunjukkan skala bencana lintas wilayah yang tidak dapat ditangani secara parsial,” tegasnya.
Tidak sampai di situ, Henry Saragih juga menehaskan bahwa kerusakan fisik yang ditimbulkan akibat bencana ekologis tersebut pun sangat masif. BNPB mencatat sekitar 171.379 unit rumah rusak, ratusan fasilitas umum seperti sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah tidak dapat difungsikan, serta sedikitnya 145 jembatan dan ruas jalan mengalami kerusakan atau terputus. Kondisi ini menghambat evakuasi, distribusi bantuan, pelayanan publik, serta aktivitas ekonomi masyarakat.
SPI menegaskan bahwa petani kecil dan masyarakat pedesaan menjadi kelompok yang paling terdampak pada bencana ini. Di Provinsi Aceh saja, berdasarkan laporan Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh pada Desember ini, sekitar 89.582 hektare lahan pertanian rakyat terdampak parah dan banyak mengalami gagal panen.
“Catatan lapangan SPI di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menunjukkan bahwa banjir dan longsor tidak hanya merusak rumah, tetapi juga menghancurkan sumber penghidupan petani, seperti sawah, kebun, ternak, lumbung pangan, jaringan irigasi, dan jalan usaha tani, dan pasar desa, sehingga mengancam keberlanjutan musim tanam berikutnya,” terang Henry Saragih.
Sebagai organisasi petani, SPI telah melakukan berbagai upaya tanggap darurat melalui struktur wilayah, termasuk pendirian posko solidaritas, dapur umum, serta penyaluran bantuan pangan, air bersih, dan kebutuhan dasar di daerah-daerah terdampak berncana di tiga provinsi tersebut. Namun, SPI menilai besarnya skala bencana dan luasnya wilayah terdampak telah melampaui kapasitas masyarakat desa dan pemerintah daerah.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penetapan status dan tingkat bencana didasarkan pada indikator jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah terdampak, serta dampak sosial dan ekonomi, dengan menyandingkan indikator-indikator tersebut dengan data lapangan yang dirilis secara resmi oleh pemerintah yakni lebih dari 1.100 korban jiwa, ratusan ribu pengungsi, lebih dari 186 ribu rumah rusak, puluhan ribu hektare lahan pertanian terdampak, serta cakupan wilayah lintas provinsi.
Dengan demikian, Henry Saragih memohon dengan sangat kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk segera mengambil langkah konkret dalam rangka menyelamatkan masyarakat dan menanggulangi bencana alam di tiga Provinsi tersebut.
“Kami menilai bahwa bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah memenuhi seluruh indikator secara kuat dan kumulatif untuk ditetapkan sebagai Bencana Nasional,” pungkasnya.



