HOLOPIS.COM, JAKARTA – 6 (enam) unit apartemen milik mantan Direktur Utama PT Taspen (Persero) Antonius Nicholas Stephanus Kosasih atau ANS Kosasih telah disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aset yang ditaksir mencapai Rp 20 miliar tersebut disita lantaran diduga memiliki keterkaitan dengan kasus dugaan korupsi investasi fiktif di PT Taspen yang sedang ditangani lembaga antirasuah.
“KPK telah melakukan penyitaan terhadap enam unit apartemen yang berlokasi di Tangerang Selatan senilai kurang lebih Rp 20 miliar. Enam unit apartemen tersebut diduga milik tersangka ANK dan diduga punya keterkaitan dengan perkara yang sedang kami tangani,” ujar Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika dalam keterangannya, seperti dikutip Holopis.com, Rabu (22/1).
Dalam mengusut kasus dugaan korupsi investasi fiktif PT Taspen ini, tim penyidik KPK juga telah menggeledah dua rumah, satu unit apartemen, dan satu kantor. Tim penyidik menyita uang tunai senilai Rp 100 juta dalam pecahan rupiah dan mata uang asing dari penggeledahan tersebut.
“Termasuk juga penyitaan terhadap, dokumen-dokumen atau surat-surat serta barang bukti elektronik (BBE) yang diduga punya keterkaitan dengan perkara tersebut,” tutur Tessa.
KPK akan mengambil segala tindakan yang patut dan terukur sesuai dengan undang-undang jika ada pihak-pihak yang tidak kooperatif dalam mengungkap dengan sebenar-benarnya perkara ini. Sebaliknya, KPK akan mengapresiasi pihak-pihak yang memiliki iktikad baik dan memilih untuk bekerja sama.
Diketahui, KPK telah menjerat dan menahan mantan Dirut PT Taspen (Persero) Antonius Nicholas Stephanus Kosasih atau ANS Kosasih dan Direktur Utama PT Insight Investments Management Ekiawan Heri Primaryanto (EHP) dalam kasus ini. Ekiawan dan Antonius telah dijebloskan KPK ke jeruji besi.
Diketahui, PT Insight Investments Management mengelola keuangan melalui berbagai macam produk reksa dana konvensional dan syariah, seperti Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Saham, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Campuran, dan Reksa Dana Terproteksi.
ANS Kosasih selaku direktur investasi PT Taspen dan Ekiawan diduga melakukan korupsi terkait penempatan dana investasi PT Taspen sebesar Rp 1 triliun pada reksa dana RD I-Next G2 yang dikelola manajer investasi. Perbuatan rasuah tersebut diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 200 miliar.
Tak hanya merugikan keuangan negara, dugaan tindak pidana ini juga menguntungkan sejumlah pihak. Di antaranya, PT Insight Investment Management sebesar Rp 78 miliar, PT VSI sebesar Rp 2,2 miliar, PT PS sekitar Rp 102 juta, dan PT SM sekitar Rp 44 juta. Berdasarkan informasi PT VSI merujuk pada PT KB Valbury Sekuritas, PT PS pada PT Pacific Sekuritas, dan PT SM pada PT Sinarmas Sekuritas. Selain itu, pihak-pihak lain yang terafiliasi dengan tersangka ANS Kosasih dan tersangka EHP.
Adapun dugaan rasuah itu bermula dari kegiatan investasi Taspen dari program dana Tabungan Hari Tua (THT) pada Juli 2016. Investasi itu untuk pembelian Sukuk Ijarah TSPF II sebesar Rp 200 miliar yang diterbitkan oleh saat itu emiten PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk. atau TPSF (SIASIA02).
Namun, Pefindo selang dua tahun setelah itu mengeluarkan peringkat tidak layak untuk diperdagangkan atas sukuk ijarah TPSF SIAISA02 idD lantaran Gagal Bayar Kupon. Hal itu memicu proses pengajuan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan dinyatakan sebagai PKPU tetap terhadap PT SM pada Agustus 2018.
Antonius Kosasih lalu diangkat sebagai Direktur Investasi Taspen pada Januari 2019. Lalu terjadi pembahasan opsi perdamaian PKPU pada April.
Antonius Kosasih saat itu menyampaikan kepada Direktur Utama Taspen saat itu bahwa opsi terbaik adalah mengkonversi sukuk ijarah TPSF ke reksadana. Antonius lalu diduga bertemu dengan Direktur Utama PT IIM saat itu yakni Ekiawan pada Mei 2019 guna membahas skema optimalisasi Sukuk TPSF II sebagai bond universe, alias daftar portofolio yang layak investasi.
Caranya, dengan mekanisme optimalisasi RD InextG2. Padahal, Sukuk SIASIA02 idD yang gagal bayar dan dalam kondisi PKPU masuk kategori tidak layak investasi atau risiko tinggi.
Hal ini dinilai bertentangan dengan ketentuan Akta Kontrak Investasi Kolektif Reksadana Inisght Tunas Bangsa Balanced Fund 2 (I-Next G2) pada pasal 6 tentang kebijakan investasi angka 6.3 huruf iv yang berbunyi “Efek Bersifat Utang dan/atau Efek Syariah Berpendapatan Tetap yang ditawarkan tidak melalui penawaran umum dan telah mendapat peringkat dari Perusahaan Pemeringkat Efek yang terdaftar di OJK dan masuk dalam kategori layak investasi (investment grade)”. Padahal saat itu peringkat Sukuk SIAISA02 Id D (gagal bayar) dan dalam kondisi PKPU sehingga masuk kategori Non-Investment Grade (Tidak layak investasi dan beresiko tinggi).
Pada hari yang sama, Taspsan menyetujui proposal perdamaian secara penuh Rp 200 miliar dengan tenor 10 tahun dan bunga 2%. Sejumlah direksi Taspen lainnya disebut bertemu dengan tersangka Ekiawan.
Saat itu, pihak Taspen disebut meminta PT IIM mengajukan konsep optimalisasi Sukuk Ijarah TPSF II.
Pada Mei 2019 lalu, Komite Investasi Taspen membahas dalam suatu rapat bahwa TPSF tidak pailit karena karena kreditur setuju dengan proposal perdamaian TPSF. PT IIM pada hari yang sama mengajukan proposal penawaran optimalisasi Reksadana I-NextG2.
KPK menduga perbuatan Antonius melawan hukum karena memilih manajer investasi PT IIM sebelum adanya penawaran.
Pada Mei 2019, rapat Komite Investasi Taspen memutuskan bahwa optimalisasi aset investasi melalui reksadana dan memilih PT IIM karena satu-satunya Manajer Investasi yang memiliki cangkang yang siap. Lalu, Taspen melakukan optimalisasi obligasi Sukuk Ijarah TPSF melalui investasi instrumen reksadana campuran Insight Tunas Bangsa Balanced Fund 2 sebesar Rp 1 triliun.
Taspen melalukan subscribe unit penyertaan Reksadana I-NextG2 sebesar Rp1 triliun dengan harga per unit penyertaan Rp 1.003,2 per jumlah unit penyertaan 996.694.959,51. Hal itu melawan ketentuan kebijakan perseroan sendiri terkait dengan penanganan sukuk dalam perhatian khusus, yakni harus menahan untuk tidak diperjualbelikan (hold and average down).
Kemudian, Taspen melakukan penjualan SIASIA 02 di harga PAR dengan bunga akrual melalui PT SS dengan total transaksi Rp 228,7 miliar. PT SS lalu menjual SIASIA 02 ke lima reksadana lain pada hari yang sama sukuk turut dijual ke PT PS dengan harga 100.04%.
PT IIM juga menginstruksikan PT VS untuk membeli sukuk PTSF dari PT Pacific Sekuritas dengan harga 100.08% kemudian menjual ke RD I-NEXT G2 seharga 67%. Adapun total nilai transaksi itu yakni Rp142,7 miliar. Namun, transaksi itu merugikan PT VS sebesar Rp 87 miliar.
Sebagai gantinya, PT IIM menginstruksikan PT VS melakukan seolah-olah ada jual beli saham dengan pembayaran netting sebesar Rp 87 miliar. Akibat transaksi pemindahan Sukuk TPSF atau SIASIA 02 itu, Reksadana I-NEXTGEN 2 pada 31 Oktober 2019 telah mencapai titik terendah. Sebab, Reksadana telah merealisasikan obligasi/sukuk AISA dengan nominal Rp 200 miliar dengan harga penjualan sekitar 3-5%.
Dalam pengusutan kasus ini, Tim penyidik KPK telah menyita sejumlah bukti terkait kasus dugaan korupsi investasi fiktif di PT Taspen (Persero). Di antaranya berupa barang bukti elektronik, sejumlah dokumen, hingga uang senilai Rp 2,4 miliar.
Uang Rp 2,4 miliar itu disita penyidik pada 31 Oktober 2024. Uang tersebut merupakan fee broker atas kegiatan investasi PT Taspen dengan Manager Investasi yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Selain uang, penyidik KPK juga telah menyita dokumen-dokumen, surat dan barang bukti elektronik (BBE) yang diduga punya keterkaitan dengan perkara Investasi PT. Taspen (Persero) Tahun Anggaran 2019 ini. Bukti itu merupakan temuan dari kegiatan penggeledahan di tiga lokasi pada 30 Oktober 2024 dan 31 Oktober 2024.
Adapun tiga lokasi itu yakni kantor yang terafiliasi dengan PT Insight Investments Management (IIM). Kantor itu berlokasi di wilayah SCBD Jakarta.
Lalu, rumah salah satu Direksi PT IIM yang berlokasi di Koja Jakarta Utara dan rumah salah satu mantan Direktur PT Taspen di Jakarta Selatan.
KPK juga telah menggeledah sejumlah tempat. Di antaranya, kantor PT Taspen dan kantor PT Insight Investments Management.
Sejumlah pihak sekuritas diketahui telah diagendakan diperiksa tim penyidik KPK. Di antaranya, Direktur PT Binartha Sekuritas Adi Indarto Hartono; mantan Direktur Keuangan dan Operasional PT Sinarmas Sekuritas Ferita; dan Direktur Utama PT Pacific Sekuritas Indonesia, Edy Soetrisno (ES).